BAB I
a. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
b. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
c. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas.
d. Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan)
Atas semua
usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT memberikan kompensasi finansial
buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari
total harta yang mereka kumpulkan.
SARAN PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan
pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran atau distribusi
harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau
dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam
untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Amil Zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia memiliki
pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak
boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan
potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia
berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Syarat agar bisa disebut sebagai Amil Zakat adalah: (1)
diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil
zakat dan mendistribusikannya. Amil
Zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan yaitu: Beragama
Islam, Mukallaf, Memiliki sifat amanah atau jujur, Mengerti dan memahami
hukum-hukum zakat, Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas, Kesungguhan
amil zakat dalam melaksanakan tugas, Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk
tugas kepemimpinan).
Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah
SWT memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak
mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan.
- Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Amil dan Fungsinya?
2. Bagaimanakah Ketentuan Hak Amil dalam
Pembagian Zakat?
3. Bagaimanakah Pandangan Ulama tentang
Pengumpulan dan Pemdistribusian Zakat oleh Amil?
- Tujuan
Penulisan
Penulisan makallah ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan pembaca dan terutama penulis sendiri. Dapat juga menjadi bahan
perbandingan jika terdapat beberapa perbedaan sehingga penulis dapat
memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Amil dan
Fungsi Amil
1.
Pengertian Amil
Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan hal-hal yang
berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran
atau distribusi harta zakat. Mereka
diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi
pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan
membagikan harta zakat serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Hafidhuddin mengatakan bahwa amil
zakat adalah “mereka yang melaksanakan segala kegiatan yang berkaitan dengan
urusan zakat, mulai dari proses penghimpunan,penjagaan, pemeliharaan, sampai
proses pendistribusiannya, serta tugas pencataan masuk dan keluarnya dana zakat
tersebut”[1]
Abu Bakar al- Hushaini di dalam
Kifayat al-Akhyar, mengatakan bahwa Amil Zakat adalah orang yang mendapatkan
tugas dari negara, organisasi, lembaga atau yayasan untuk memngurusi zakat.
Atas kerjanya tersebut seorang amil zakat berhak mendapat jatah dari uang
zakat. “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan oleh pemimpin negara untuk
mengambil zakat kemudian disalaurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang
diperintahkan Allah”.[2]
Dasar hak amil dalam pembagian zakat adalah firman Allah swt dalam
surat at-Taubah ayat
60:
$yJ¯RÎ)
àM»s%y¢Á9$#
Ïä!#ts)àÿù=Ï9
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur
$pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur
öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur
Îûur È@Î6y «!$#
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$#
3 ª!$#ur
íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Artinya:”Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat
(amil), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
(Qs. at-Taubah : 60)[3]
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr
(pembatasan). Ini menunjukan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan
golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya. Amil zakat harus memenuhi beberapa
syarat sebagaimana keterangan para Ulama dibawah ini.
Sayyid sabiq mengatakan Amil Zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh
pengusa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang
kaya. Orang-orang yang bertugas menjaga harta zakat, pengembala hewan ternak
dan juru tulis yang bekerja dikantor amil zakat.[4]
‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “yang dimaksud dengan amil zakat adalah
para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari
orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil
adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[5]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai
Amil Zakat adalah: (1) diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa
muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya. Sehingga panitia-panitia
zakat yang ada di berbagai mesjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya
sebagai amil bukanlah amil secara syar’i.
Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang
dipekerjakan oleh pihak tertentu serta Memiliki otoritas untuk mengambil dan
mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki
kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak
untuk membayar zakat.
Namun
demikian, tidaklah tepat menyatakan takmir (pengurus) masjid
sebagai amil zakat, yang tepat mereka adalah wakil dari muzakki
sebagaimana keterangan para ulama di atas. Sehingga mereka tidak boleh seenaknya memotong atau mengambil bagian dari
zakat dari para muzakki. Jika mereka memotongnya, itu sama saja memakan
harta orang dengan cara yang batil. Jadi hanya sekedar menyalurkan dan
pekerjaan mereka bersifat sosial. Untuk itu, perlu diberikan upah, tidak
diambil dari harta zakat namun dari dana lainnya.
2. Fungsi Amil
Profesi utama amil zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia
memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang
tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan
potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia
berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Adapun jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur
perusahaan, pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi
tersebut, kemudian jika ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka
orang seperti ini tidak dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah
mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat
sesuai dengan aturan yang berlaku. "Bahkan jika ada gubernur, bupati,
camat, lurah yang ditugaskan oleh pemimpin Negara untuk mengurusi zakat, diapun
tidak berhak mengambil bagian dari zakat, karena dia sudah mendapatkan gaji
dari kas Negara sesuai dengan jabatannya."[6]
Dasar pengangkatan Amil Zakat inni adalah hadits Abu
Humaid as-sa’idi:
عن أبي حميْد السّاعدي رضي الله عنْه قل استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا
منْ الأزْد يقال له ابن الأتْبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي
قال فهلاّ جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر يهدى له أم لا والذي نفسي بيده لا
يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء
أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه اللهم هل بلغت
اللهم هلْ بلغت ثلاثا. (رواه البخارى و مسلم)
Dari Abu Humaid
as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam
memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah
sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini
untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda :
"Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah
akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di
tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia
akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta
yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik".
Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak
beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan,
bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.[7]
Berdasarkan hadist di
atas, amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara, organisasi,
lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa
pengawasan. Didin Hafidhudhin dalam bukunya menyebutkan tugas amil sebagai
berikut :
·
Membuat rencana kerja
·
Melaksanakan operasional
pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan
kebijakan yang telah ditetapkan.
·
Menyusun laporan
tahunan
·
Menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada pemerintah
·
Bertindak dan
bertanggungjawab atas nama Badan Amil Zakat.[8]
Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelola zakat adalah melakukan
sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus-menerus dan
berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum'at,
majelis tak'lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui media surat kabar,
majalah, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan
optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat
melalui lembaga zakat yang kuat, amanah dan terpercaya.
- Ketentuan Besarnya
Hak Amil dalam Pembagian Zakat (Perolehan Hak Amil)
Tugas amil adalah "mengumpulkan, menjaga, mencatat dan menyalurkan
atau mendistribusikan hatra zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan
memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwewenang
atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan zakat kepada
orang-orang yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an.[9] Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT
memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan
harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan.
Ketentuan ini berangkat dari pembagian harta zakat
yang ditetapkan untuk 8 asnaf. Masing-masing mendapat 1/8 bagian dari total
harta zakat. Namun karena syariat zakat itu punya esensi utama memberi harta
kepada fakir miskin, maka hak yang diberikan kepada fakir miskin memang
istimewa. Kalau harta itu masih belum mencukupi hak-hak fakir miskin, maka
asnaf yang lain harus dikalahkan demi kepentingan fakir miskin. Hal ini
berangkat dari sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal ketika diutus kepada
bangsa Yaman : Harta zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan
kepada orang faqir di antara mereka. Maka bila asnaf tertentu tidak terdapat,
hak mereka dikembalikan kepada pihak faqir dan miskin. Sehinnga faqir dan
miskin akan mendapatkan porsi paling besar. Sedangkan asnaf lainnya bila memang
ada, haknya tetap 1/8 dan tidak boleh melebihi jatahnya itu.
Tugas seorang amil zakat yaitu melakukan sensus terhadap orang-orang wajib
zakat dari macam-macam harta yang mereka miliki, dan mengambil sebagain dari
ketentuan besarnya harta yang wajib dizakati. Kemudian menagihnya lalu
menyimpan dan menjaganya, untuk kemudian diserahkan kepada pengurus pembagi
zakat. Dalam menyalurkan zakat, amil memilih cara yang paling baik untuk
mengetahui para mustahiq zakat, kemudian melaksanakan klarifikasi terhadap
mereka dan menyatakan hak-hak mereka. Juga menghitung jumlah kebutuhan mereke
dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka. Akhirnya meletakkan dasar-dasar yang
sehat dalam pembagian zakat tersebut, sesuai dengan jumlah dan kondisi
sosialnya.
Menurut Yusuf Qardawi, sebagaimana di kutip oleh Hafidhuddin, seseorang
yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki
beberapa persyaratan sebagai berikut yaitu :
a. Beragama Islam
b. Mukallaf
c. Memiliki sifat amanah atau jujur
d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
f. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas.[10]
g. Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan)
Oleh karena itu, dalam
pembagian zakat Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa "si pemilik
harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat. Sementara
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta,
karena itu masing-masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang
tertinggal."[11] Jika
kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam hal
kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki
pandangan-pandangan yang berbeda.
Al-Ahnaf dan Sufyan
as-Saury menerangkan bahwa "zakat
lebih baik disalurkan oleh muzaki sehingga pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki.
Sementara pendapat Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal. Dengan kata lain,
dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus
oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan."[12]
Terjadinya permasalahan
seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits
yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum
mengadakan amil dalam zakat.
Pada zaman
Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam, zakat merupakan "harta yang
dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah
SAW mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan
membagikannya kepada para mustahiq. Pada zaman Abu Bakar dan Umar Bin
Khattab pun demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman,
buah-buahan, dan ternak) maupun harta bathin (harta emas, perak,
perniagaan dan harta galian), semuanya mesti dihimpun dan dibagikan oleh amilin.
Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang
sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir
disamping banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan
serta pengawasan terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang
pelaksanaan zakat dari harta bathin kepada para muzaki pun diberlakukan."[13] Dari
semenjak ini tumbuhlah berbagai pemahaman dan pandangan mengenai keharusan
zakat dikelola oleh amilin atau individu atau sebagian harta oleh
individu dan sebagiannya harus oleh amilin.
Berdasarkan hal
tersebut, kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin terdapat
lahan bagi para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang
telah dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan. Jika
ibadah yang kita lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita
kepada mustahiqnya, dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan atau terancamnya keamanan ibadah zakat, maka hal itu
diperbolehkan. Namun, zakat lebih utama apabila disalurkan melalui amil.
Sementara dalam teknis penghitungan jumlah harta serta zakatnya sendiri, banyak
kebijakan dari para lembaga amilin yang memperbolehkan muzaki
menyalurkan sendiri zakatnya.[14]
Sebagian kalangan
mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari jumlah seluruh zakat
yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan
zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah satu golongan,
sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat yang terkumpul.
Tetapi pendapat ini
kurang tepat, karena delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak
selalu lengkap dan ada, seperti golongan “fi ar-riqab“ (budak) hari ini
tidak didapatkan atau jarang didapatkan, walaupun sebagian kalangan memperluas
cakupannya seperti orang yang dipenjara. Seandainya semua golongan itu ada,
tetap saja jumlahnya tidak sama dengan lainnya, sehingga kalau dipaksakan
masing-masing golongan mendapatkan seperdelapan, maka akan terjadi
ketidakseimbangan dan mendalimi golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya
sangat banyak, seperti golongan fakir miskin.
Adapun pendapat yang
lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan
kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan
tersebut harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan
golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang,
dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.
Amil zakat tidak harus
dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya
dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi
karena kedudukannya sebagai amil zakat. Segala
sesuatu dalam agama ini perlu didasari oleh ilmu dan perlu pengkajian secara mendalam. Sebagian
kita kadang beramal asal-asalan. Sebagian orang berprinsip tanpa didasari ilmu lantas langsung berbuat. Inilah salah satu yang lagi merebak saat ini, banyaknya orang yang mengangkat diri
sebagai amil zakat. Padahal tidak sembarang orang bisa seenaknya mengangkat dirinya sebagai amil
zakat, ada syarat yang mesti dipenuhi.
- Pandangan Ulama
Tentang Pengumpulan dan Pendistribusian Zakat oleh Amil
Para
Ulama mendefinisikan zakat adalah "mengeluarkan sebagian yang khusus dari
harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kualitas yang
mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)–nya. Dengan catatan kepemilikan itu penuh
dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan
pertanian."[15]
Sementara dasar palaksanaannya adalah seorang Imam mengumpulkannya dar i para muzakki dan membagikannya kepada para
mustahiq. Artinya, pengelolaan zakat itu merupakan salah
satu tugas negara
Islam. As-Sunnah Al-Qauliyah, diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dibagikan kepada fakir miskin
mereka di sini ada yang mengambil dan yang membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja
kepada para muzakki. As-Sunnah Al-Fi’liyyah,
Rasulullah saw. Mengirimkan para
pemungut zakat.
Demikian juga para khalifah sesudahnya.Logika, yaitu ketika zakat
dibiarkan kepada perorangan mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin,
yang bisa menyebabkan keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada
saat yang sama negara berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi sebagian distribusi zakat itu disalurkan untuk
kepentingan umum yang hanya bisa ditentukan oleh negara. Harta zakat terbagi
dalam dua macam, yang nyata dan yang tersembunyi. Zakat zhahir seperti zakat tanaman dan hewan, sedang
yang tersembunyi seperti uang dan perdagangan.
Para ulama telah bersepakat bahwa ketika seorang imam meminta zakat dari
para mustahiq, maka harus diberikan baik dalam bentuk zhahir maupun
tersembunyi. Dan ketika imam tidak mengurusi zakat, maka tidak menggugurkan
zakat dari para muzakki itu, dan para muzakki wajib mengeluarkannya sendiri dan
membagikannya kepada para mustahiq. Seorang amil diperbolehkan menyerahkan cara
pembayaran zakat harta tersembunyi kepada para muzakki seperti yang dilakukan
oleh Utsman r.a. dan ketika itu para muzakki yang membagikannya langsung
kepada mustahiq.[16]
Kenyataan pembagian jenis harta zhahir dan tersembunyi tidak banyak
dampaknya pada zaman sekarang ini. Maka yang utama adalah kembali kepada yang
asli, yaitu urusan zakat harus tunduk kepada kekuatan hukum syariat Islam, yang
akan membantu mewujudkan tujuan kewajiban ini.
Ketika pemilik harta menolak membayar zakat, atau mengaku telah
mengeluarkannya, atau menyembunyikan kewajibannya, maka ia wajib: Jika ia
mengingkari kewajiban zakat, maka hukumnya kafir dan dihukum mati sebagai orang
murtad. Jika karena pelit, maka diambil zakatnya dengan paksa dan dipenjara.
Para ulama berbeda pendapat tentang
apakah boleh menghukum orang yang menolak zakat dengan diambil separuh
hartanya? Madzhab Hambali memperbolehkannya, tetapi jumhur ulama menolak. Dan yang rajah (kuat)
bahwa hukuman maliyah (material) adalah jenis hukuman ta’zir yang
diserahkan kepada kebijakan imam.
Jika ia iltizam dengan Islam secara global dan zalim dalam beberapa
sisi, maka boleh membayar zakat kepadanya, jika ia menyalurkannya ke pos-pos
yang diperbolehkan agama. Sedang jika kezalimannya mencakup zakat, maka tidak
boleh membayar kepadanya, kecuali jika ia mengambil paksa. Dan yang utama dalam
kondisi ini adalah mengulang mengeluarkannya
kepada yang berhak. Ini hukumnya wajib menurut madzhab Maliki, dan wajib menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Sedang jika penguasa itu memerangi
Islam dan para dainya dengan terang-terangan mengajak kepada prinsip kafir,
maka tidak boleh membayar zakat kepadanya dalam keadaan apapun. Dan jika penguasa itu mengambil, maka muzakki
harus mengulang mengeluarkan zakat.
Untuk itu, dalam pendistribusian dan Pengumpulan zakat harus adanya
syarat-syarat sebagai berikut :
- Niat
Karena zakat adalah ibadah, maka
pelaksanaannya harus disertai niat. Muzakki berniat untuk dirinya, sebagaimana
seorang wali berniat untuk orang yang
diwalikan, seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh ketika mereka hendak
mengeluarkan zakat.
Tempat niat ada di dalam hati, dan waktunya ketika sedang mengeluarkan zakat. Ketika penguasa mengambil zakat maka harus
disertai pula niat muzakki sehingga
mendapat pahala dari zakatnya, dan
diterima di sisi Allah. Jika tidak disertai niat maka hanya cukup menurut
Negara, artinya tidak diminta lagi, tetapi belum cukup menurut Allah
- Membayar dengan nilai uang
Ketika seseorang berkewajiban zakat seekor kambing, atau seekor onta, atau
sekian kilo untuk tanamannya, maka ia diperbolehkan membayar dengan uang
senilainya, seperti dalam hadits Mu’adz bersama dengan penduduk Yaman:
“Bayarkan kepadaku dengan kain yang panjanganya lima hasta, atau pakaian
senilai zakat, karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih
bermanfaat bagi kaum muhajirin di Madinah” HR Al Baihaqi dan Al Bukhariy. Saat
itu penduduk Yaman terkenal sebagai pembuat pakaian, dan penduduk Madinah lebih
membutuhkannya. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, diriwayatkan pula oleh
imam Ahmad bin Hanbal untuk selain zakat fitrah. Merupakan madzhab Umar bin
Abdul Aziz, Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauriy dan Al Bukhariy. Menurut Ibnu
Taimiyah membayar zakat dengan nilai uang diperbolehkan karena kebutuhan,
kemaslahatan atau keadilan.
Madzhab Syafi’iy tidak memperbolehkan membayar zakat dengan nilai uang.
Karena zakat itu ibadah seperti shalat maka wajib dikerjakan seperti yang ada
dalam teks syar’iy. Dan menurut madzhab
Maliki ada beberapa pendapat yang berbeda, dan yang terkenal adalah makruh
membayar zakat dengan uang. Sedang jika imam menghendaki pembayaran dengan uang
maka mereka sepakat boleh, karena ia
dianggap lebih memahami kemaslahatan.
- Memindahkan zakat ke tempat lain.
Prinsip zakat adalah dibagikan di negeri tempat zakat itu dikumpulkan,
seperti dalam hadits Nabi: “Diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada
fakir misikin mereka”. Demikianlah sunnah fi’liyyah Rasulullah saw dan
khulafaurrasyidin sesudahnya, tanpa ada yang berbeda pendapat dengannya.
Ketika negeri yang bersangkutan sudah cukup, maka boleh dipindahkan ke
Negara lain, atau diserahkan kepada imam untuk dibagikan sesuai dengan
kebutuhan. Demikianlah yang Rasulullah dan para khalifah lakuakan tanpa ada
yang menolaknya.
Sedangkan jika fakir miskin di negeri yang bersangkutan masih membutuhkan
zakatnya orang kaya, maka pemindahan zakat ke Negara lain tidak boleh dilakukan
kecuali jika ada kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti jika ada suatu Negara
muslim yang ditimpa bencana, atau sesuai dengan ijtihad imam menurut pendapat
madzhab Hanafi dan Maliki.
Diperbolehkan memindahkan zakat menurut madzhab Hanafi ke Negara lain jika
muzakki memiliki kerabat yang membutuhkan di negeri tersebut. Atau jika di
negeri kedua itu terdapat fakir miskin yang lebih membutuhkan dari pada negeri
yang pertama. Atau jika pemindahan itu lebih membawa maslahat bagi kaum
muslimin, atau jika dipindahkan dari negeri perang ke negeri aman, atau jika
dipindahkan kepada orang berilmu atau penuntut ilmu, atau dipindahkan untuk
pembiayaan proyek Islami yang bermanfaat bagi kaum muslimin di Negara kedua.
Ibnu Abidin menuturkan dalam hasyiyahnya lebih banyak lagi contoh seperti ini
- Mempercepat dan
Menunda Zakat
Zakat wajib dibayarkan seketika, maka ketika syarat-syarat zakat terpenuhi
maka saat itu pula wajib dikeluarkan zakatnya. Ia berdosa jika menundanya tanpa
ada sebab. Karena perintah menuntut disegerakan. Demikianlah madzhab jumhurul
ulama
Diperbolehkan mempercepat pembayaran zakat -artinya dikeluarkan sebelum
waktunya- jika zakatnya mensyaratkan haul (masa satu tahun). Demikianlahh
madzhab jumhurul ulama. Berbeda dengan madzhab Maliki. Sedang zakat yang tidak
mensyaratkan satu tahun seperti tanaman dan buah-buahan, maka tidak boleh
membayarnya sebelum waktunya.
Tidak diperbolehkan pula menunda zakat ketika sudah jatuh waktu wajjibnya
kecuali jika ada hajat syar’iy seperti menunggu kerabat yang sedang
membutuhkan. Dan barang siapa yang menundanya tanpa ada sebab syar’iy ia
berdosa menurut kebanyakan ulama. Dan jika kemudian hartanya habis atau kurang
sebagiannya sebelum mengeluarkan zakat maka kewajibannya tidak gugur, dan
menjadi hutangnya.[17]
Dan jika zakat telah diambil dari sebagian harta yang dimiliki untuk
dibagikan kepada yang berhak kemudian hilang, maka jika karena keteledoran
pemeliharaannya, maka ia wajib menggantinya dan mengelurkan zakat lagi. Namun
jika tidak karena keteledoran maka ia tidak wajib menggantinya, dan cukup
membayarkan dengan yang tersisa.
Zakat yang sudah menjadi kewajiban seseorang tidak akan pernah gugur
sebelum dibayar meskipun telah lewat beberapa tahun. Menurut jumhur ulama zakatnya diambil secara
keseluruhan dari tahun-tahun yang telah berlalu.
Bahkan zakat tidak gugur karena
kematian. Ia tetap harus dibayarkan dari harta peninggalan meskipun tidak
diwasiatkan oleh orang yang meningal. Ini pendapat Jumhur yang didasarkan
kepada sabda Rasulullah saw. “… hutang kepada Allah lebih berhar untuk
dilunasi…” (Syaikhan)
- Rekayasa
Menggugurkan Zakat
Haram hukumnya dan zakat tidak gugur
apapun bentuk rekayasanya. Barangkali di dunia bisa bebas karena permintaan pemimpin untuk
menggugurkannya, namun di akhirat tidak selamat dari hisab Allah. Ini juga
pendapat Jumhur, Malikiyah, Hanabilah, dan lain-lain.
- Membayar zakat
bisa dilakukan kepada orang fakir secara langsung dan tidak mengatakan
bahwa itu zakat. Bahkan banyak ulama yang menganggapnya sunnah agar tidak
menyakiti hatinya dan merendahkannya.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Tugas amil adalah
"mengumpulkan, menjaga, mencatat dan menyalurkan atau mendistribusikan
hatra zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau
dipilih oleh instansi pemerintah yang berwewenang atau oleh masyarakat Islam
untuk memungut dan membagikan zakat kepada orang-orang yang sudah ditentukan
dalam Al-Qur'an.
Amil Zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai
berikut yaitu :
e. Beragama Islam
f. Mukallaf
g. Memiliki sifat amanah atau jujur
Dalam pembagian zakat Amil memiliki peran yang penting oleh karena itu tidak sembarang orang
dan semua orang yang bisa menjadi amil, karena memiliki syarat-syarat tertentu.
Dengan adanya makallah ini semoga dapat menyalurkan zakat melalui lembaga
maupun orang yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Didin Hafidhuddin, Zakat
dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
Abu Bakar al-Hushaini
Kifayat al-Akhyar, diterjemahkan oleh Ahmad Zain An Najah,
Shahih Fiqh
Sunnah, Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu, Jilid
2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf,
Zakat, Haji dan Umrah, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 83
Imam Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I,
(Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.), hal. 210.
Sayyid Sabiq
diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, Fikih Sunnah,
Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hal. 142.
Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat (Hukum, Tata Cara dan
Sejarah), (Bandung :Marja 2008),
[4] Sayyid Sabiq diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, Fikih
Sunnah, Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hal. 142.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, Shahih
Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu,
Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) hal.
69
[11] Mahmud Aziz Siregar, 1999, Hal. 83
[12] Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf,
Zakat, Haji dan Umrah, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 83
[13] Ibid., hal 84
[14]
Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat (Hukum, Tata Cara dan Sejarah),
(Bandung : Marja, 2008), hal. 82
[15] Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…,
hal. 84
[17] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 98
No comments:
Post a Comment