Wednesday, 20 June 2018

Perolehan Hak Amil Dalam Pembagian Zakat Menurut Hukum Islam


BAB  I
a.       Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
b.      Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
c.       Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas.
d.      Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan) 

Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan.

SARAN PENDAHULUAN

  1. Latar  Belakang
Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.

Amil Zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Syarat agar bisa disebut sebagai Amil Zakat adalah: (1) diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya. Amil Zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan yaitu: Beragama Islam, Mukallaf, Memiliki sifat amanah atau jujur, Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat, Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas, Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas, Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan).
Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan.





  1. Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Amil dan Fungsinya?
2.      Bagaimanakah Ketentuan Hak Amil dalam Pembagian Zakat?
3.      Bagaimanakah Pandangan Ulama tentang Pengumpulan dan Pemdistribusian Zakat oleh Amil?


  1. Tujuan  Penulisan
Penulisan makallah ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan serta wawasan pembaca dan terutama penulis sendiri. Dapat juga menjadi bahan perbandingan jika terdapat beberapa perbedaan sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembahasan.















BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Amil dan Fungsi Amil
1.      Pengertian Amil
Amil merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran atau distribusi harta zakat.  Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan harta zakat serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Hafidhuddin mengatakan  bahwa amil zakat adalah “mereka yang melaksanakan segala kegiatan yang berkaitan dengan urusan zakat, mulai dari proses penghimpunan,penjagaan, pemeliharaan, sampai proses pendistribusiannya, serta tugas pencataan masuk dan keluarnya dana zakat tersebut”[1]
Abu Bakar al- Hushaini  di dalam Kifayat al-Akhyar, mengatakan bahwa Amil Zakat adalah orang yang mendapatkan tugas dari negara, organisasi, lembaga atau yayasan untuk memngurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil zakat berhak mendapat jatah dari uang zakat. “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan oleh pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalaurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang diperintahkan Allah”.[2]



Dasar hak amil dalam pembagian zakat adalah firman Allah swt dalam surat                    at-Taubah ayat 60: 
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya:”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. at-Taubah : 60)[3]
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya. Amil zakat harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana keterangan para Ulama dibawah ini.
Sayyid sabiq mengatakan Amil Zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh pengusa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Orang-orang yang bertugas menjaga harta zakat, pengembala hewan ternak dan juru tulis yang bekerja dikantor amil zakat.[4]
‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata, “yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[5]

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai Amil Zakat adalah: (1) diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya. Sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai mesjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu serta Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Namun demikian, tidaklah tepat menyatakan takmir (pengurus) masjid sebagai amil zakat, yang tepat mereka adalah wakil dari muzakki sebagaimana keterangan para ulama di atas. Sehingga mereka tidak boleh seenaknya memotong atau mengambil bagian dari zakat dari para muzakki. Jika mereka memotongnya, itu sama saja memakan harta orang dengan cara yang batil. Jadi hanya sekedar menyalurkan dan pekerjaan mereka bersifat sosial. Untuk itu, perlu diberikan upah, tidak diambil dari harta zakat namun dari dana lainnya.

2.      Fungsi Amil
Profesi utama amil zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Adapun jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan, pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut, kemudian jika ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka orang seperti ini tidak dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat sesuai dengan aturan yang berlaku. "Bahkan jika ada gubernur, bupati, camat, lurah yang ditugaskan oleh pemimpin Negara untuk mengurusi zakat, diapun tidak berhak mengambil bagian dari zakat, karena dia sudah mendapatkan gaji dari kas Negara sesuai dengan jabatannya."[6]

Dasar pengangkatan Amil Zakat inni adalah hadits Abu Humaid as-sa’idi:

عن أبي حميْد السّاعدي رضي الله عنْه قل استعمل النبي صلى الله عليه وسلم رجلا منْ الأزْد يقال له ابن الأتْبية على الصدقة فلما قدم قال هذا لكم وهذا أهدي لي قال فهلاّ جلس في بيت أبيه أو بيت أمه فينظر يهدى له أم لا والذي نفسي بيده لا يأخذ أحد منه شيئا إلا جاء به يوم القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر ثم رفع بيده حتى رأينا عفرة إبطيه اللهم هل بلغت اللهم هلْ بلغت ثلاثا. (رواه البخارى و مسلم)

Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.[7]

Berdasarkan hadist di atas, amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara, organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan. Didin Hafidhudhin dalam bukunya menyebutkan tugas amil sebagai berikut :
·         Membuat rencana kerja
·          Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
·         Menyusun laporan tahunan
·         Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah
·         Bertindak dan bertanggungjawab atas nama Badan Amil Zakat.[8]

Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelola zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum'at, majelis tak'lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui media surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, amanah dan terpercaya.

  1. Ketentuan Besarnya Hak Amil dalam Pembagian Zakat (Perolehan Hak Amil)
Tugas amil adalah "mengumpulkan, menjaga, mencatat dan menyalurkan atau mendistribusikan hatra zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwewenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan zakat kepada orang-orang yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an.[9] Atas semua usaha dan kerja kerasnya itu, maka Allah SWT memberikan kompensasi finansial buat para amil zakat, berupa hak mendapatkan harta zakat, maksimal 1/8 dari total harta yang mereka kumpulkan.
Ketentuan ini berangkat dari pembagian harta zakat yang ditetapkan untuk 8 asnaf. Masing-masing mendapat 1/8 bagian dari total harta zakat. Namun karena syariat zakat itu punya esensi utama memberi harta kepada fakir miskin, maka hak yang diberikan kepada fakir miskin memang istimewa. Kalau harta itu masih belum mencukupi hak-hak fakir miskin, maka asnaf yang lain harus dikalahkan demi kepentingan fakir miskin. Hal ini berangkat dari sabda Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal ketika diutus kepada bangsa Yaman : Harta zakat itu diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang faqir di antara mereka. Maka bila asnaf tertentu tidak terdapat, hak mereka dikembalikan kepada pihak faqir dan miskin. Sehinnga faqir dan miskin akan mendapatkan porsi paling besar. Sedangkan asnaf lainnya bila memang ada, haknya tetap 1/8 dan tidak boleh melebihi jatahnya itu.
Tugas seorang amil zakat yaitu melakukan sensus terhadap orang-orang wajib zakat dari macam-macam harta yang mereka miliki, dan mengambil sebagain dari ketentuan besarnya harta yang wajib dizakati. Kemudian menagihnya lalu menyimpan dan menjaganya, untuk kemudian diserahkan kepada pengurus pembagi zakat. Dalam menyalurkan zakat, amil memilih cara yang paling baik untuk mengetahui para mustahiq zakat, kemudian melaksanakan klarifikasi terhadap mereka dan menyatakan hak-hak mereka. Juga menghitung jumlah kebutuhan mereke dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka. Akhirnya meletakkan dasar-dasar yang sehat dalam pembagian zakat tersebut, sesuai dengan jumlah dan kondisi sosialnya.

Menurut Yusuf Qardawi, sebagaimana di kutip oleh Hafidhuddin, seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut yaitu :
a.       Beragama Islam
b.      Mukallaf
c.       Memiliki sifat amanah atau jujur
d.      Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
e.       Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
f.       Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas.[10]
g.      Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan) 

Oleh karena itu, dalam pembagian zakat Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa "si pemilik harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat. Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta, karena itu masing-masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang tertinggal."[11] Jika kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam hal kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki pandangan-pandangan yang berbeda.

Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury  menerangkan bahwa "zakat lebih baik disalurkan oleh muzaki  sehingga  pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki. Sementara  pendapat  Syafi’i, semua ashnaf tidak  boleh satu pun tertinggal. Dengan kata lain, dikarenakan dalam ashnaf  terdapat  amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan."[12]

Terjadinya permasalahan seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum mengadakan amil dalam zakat. 

Pada zaman Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam, zakat merupakan "harta yang dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah  SAW mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan membagikannya kepada para mustahiq. Pada zaman Abu Bakar dan Umar Bin Khattab pun demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman, buah-buahan, dan ternak) maupun harta bathin (harta emas, perak, perniagaan dan harta galian), semuanya mesti dihimpun dan dibagikan oleh amilin. Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir disamping banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan serta pengawasan terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang pelaksanaan zakat dari harta bathin kepada para muzaki pun diberlakukan."[13] Dari semenjak ini tumbuhlah berbagai pemahaman dan pandangan mengenai keharusan zakat dikelola oleh amilin atau individu atau sebagian harta oleh individu dan sebagiannya harus oleh amilin

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin terdapat lahan bagi para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang telah dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan. Jika ibadah yang kita lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita kepada mustahiqnya, dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau terancamnya keamanan ibadah zakat, maka hal itu diperbolehkan. Namun, zakat lebih utama apabila disalurkan melalui amil. Sementara dalam teknis penghitungan jumlah harta serta zakatnya sendiri, banyak kebijakan dari para lembaga amilin yang memperbolehkan muzaki menyalurkan sendiri zakatnya.[14]

Sebagian kalangan mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari jumlah seluruh zakat yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah satu golongan, sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat yang terkumpul.

Tetapi pendapat ini kurang tepat, karena delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu lengkap dan ada, seperti golongan “fi ar-riqab“ (budak) hari ini tidak didapatkan atau jarang didapatkan, walaupun sebagian kalangan memperluas cakupannya seperti orang yang dipenjara. Seandainya semua golongan itu ada, tetap saja jumlahnya tidak sama dengan lainnya, sehingga kalau dipaksakan masing-masing golongan mendapatkan seperdelapan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan mendalimi golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya sangat banyak, seperti golongan fakir miskin.

Adapun pendapat yang lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan tersebut  harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang, dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.

Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi  karena kedudukannya sebagai amil zakat. Segala sesuatu dalam agama ini perlu didasari oleh ilmu dan  perlu pengkajian secara mendalam. Sebagian kita kadang beramal asal-asalan. Sebagian orang  berprinsip tanpa didasari ilmu lantas langsung berbuat. Inilah salah satu yang lagi merebak  saat ini, banyaknya orang yang mengangkat diri sebagai amil zakat. Padahal tidak sembarang orang bisa  seenaknya mengangkat dirinya sebagai amil zakat, ada syarat yang mesti dipenuhi.

  1. Pandangan Ulama Tentang Pengumpulan dan Pendistribusian Zakat oleh Amil

Para Ulama mendefinisikan zakat adalah "mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kualitas yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)–nya. Dengan  catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian."[15]

Sementara   dasar   palaksanaannya adalah seorang Imam  mengumpulkannya   dar i  para muzakki dan membagikannya kepada para mustahiq. Artinya, pengelolaan   zakat   itu merupakan   salah satu   tugas  negara  Islam. As-Sunnah   Al-Qauliyah, diambil dari orang-orang   kaya   mereka lalu dibagikan kepada fakir miskin mereka di sini ada yang mengambil dan yang  membagi, dan tidak dibiarkan begitu saja kepada para muzakki. As-Sunnah  Al-Fi’liyyah, Rasulullah saw. Mengirimkan  para pemungut zakat.

Demikian juga para khalifah  sesudahnya.Logika, yaitu ketika zakat dibiarkan kepada perorangan mengakibatkan terlantarnya hak-hak fakir miskin, yang bisa menyebabkan keresahan dan ketidakadilan terhadap fakir msikin. Pada saat yang sama negara berkewajiban menjaga kehormatan fakir miskin. Belum lagi  sebagian distribusi zakat itu disalurkan untuk kepentingan umum yang hanya bisa ditentukan oleh negara. Harta zakat terbagi dalam dua macam, yang nyata dan yang tersembunyi. Zakat  zhahir seperti zakat tanaman dan hewan, sedang yang tersembunyi seperti uang dan perdagangan.

Para ulama telah bersepakat bahwa ketika seorang imam meminta zakat dari para mustahiq, maka harus diberikan baik dalam bentuk zhahir maupun tersembunyi. Dan ketika imam tidak mengurusi zakat, maka tidak menggugurkan zakat dari para muzakki itu, dan para muzakki wajib mengeluarkannya sendiri dan membagikannya kepada para mustahiq. Seorang amil diperbolehkan menyerahkan cara pembayaran zakat harta tersembunyi kepada para muzakki seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. dan ketika itu para muzakki yang membagikannya langsung kepada mustahiq.[16]

Kenyataan pembagian jenis harta zhahir dan tersembunyi tidak banyak dampaknya pada zaman sekarang ini. Maka yang utama adalah kembali kepada yang asli, yaitu urusan zakat harus tunduk kepada kekuatan hukum syariat Islam, yang akan membantu mewujudkan tujuan kewajiban ini.
Ketika pemilik harta menolak membayar zakat, atau mengaku telah mengeluarkannya, atau menyembunyikan kewajibannya, maka ia wajib: Jika ia mengingkari kewajiban zakat, maka hukumnya kafir dan dihukum mati sebagai orang murtad. Jika karena pelit, maka diambil zakatnya dengan paksa dan dipenjara.

Para  ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh menghukum orang yang menolak zakat dengan diambil separuh hartanya? Madzhab Hambali  memperbolehkannya, tetapi   jumhur   ulama menolak. Dan yang rajah (kuat) bahwa hukuman maliyah (material) adalah jenis hukuman ta’zir yang diserahkan kepada kebijakan imam.

Jika ia iltizam dengan Islam secara global dan zalim dalam beberapa sisi, maka boleh membayar zakat kepadanya, jika ia menyalurkannya ke pos-pos yang diperbolehkan agama. Sedang jika kezalimannya mencakup zakat, maka tidak boleh membayar kepadanya, kecuali   jika ia mengambil paksa. Dan yang utama dalam kondisi ini adalah mengulang  mengeluarkannya kepada yang berhak. Ini hukumnya wajib menurut madzhab Maliki,  dan  wajib menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i.

Sedang  jika penguasa itu memerangi Islam dan para dainya dengan terang-terangan mengajak kepada prinsip kafir, maka tidak boleh membayar zakat kepadanya dalam keadaan apapun. Dan  jika penguasa itu mengambil, maka muzakki harus mengulang mengeluarkan zakat.
Untuk itu, dalam pendistribusian dan Pengumpulan zakat harus adanya syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Niat
Karena  zakat adalah ibadah, maka pelaksanaannya harus disertai niat. Muzakki berniat untuk dirinya, sebagaimana seorang  wali berniat untuk orang yang diwalikan, seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh ketika mereka hendak mengeluarkan zakat.
Tempat   niat  ada di dalam hati, dan waktunya ketika sedang  mengeluarkan zakat.  Ketika penguasa mengambil zakat maka harus disertai pula niat  muzakki sehingga mendapat pahala dari  zakatnya, dan diterima di sisi Allah. Jika tidak disertai niat maka hanya cukup menurut Negara, artinya tidak diminta lagi, tetapi belum cukup menurut Allah

  1.  Membayar dengan nilai uang
Ketika seseorang berkewajiban zakat seekor kambing, atau seekor onta, atau sekian kilo untuk tanamannya, maka ia diperbolehkan membayar dengan uang senilainya, seperti dalam hadits Mu’adz bersama dengan penduduk Yaman: “Bayarkan kepadaku dengan kain yang panjanganya lima hasta, atau pakaian senilai zakat, karena yang demikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi kaum muhajirin di Madinah” HR Al Baihaqi dan Al Bukhariy. Saat itu penduduk Yaman terkenal sebagai pembuat  pakaian, dan penduduk Madinah lebih membutuhkannya. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, diriwayatkan pula oleh imam Ahmad bin Hanbal untuk selain zakat fitrah. Merupakan madzhab Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauriy dan Al Bukhariy. Menurut Ibnu Taimiyah membayar zakat dengan nilai uang diperbolehkan karena kebutuhan, kemaslahatan atau keadilan.

Madzhab Syafi’iy tidak memperbolehkan membayar zakat dengan nilai uang. Karena zakat itu ibadah seperti shalat maka wajib dikerjakan seperti yang ada dalam teks syar’iy. Dan  menurut madzhab Maliki ada beberapa pendapat yang berbeda, dan yang terkenal adalah makruh membayar zakat dengan uang. Sedang jika imam menghendaki pembayaran dengan uang maka mereka sepakat  boleh, karena ia dianggap lebih memahami kemaslahatan.

  1.  Memindahkan zakat ke tempat lain.
Prinsip zakat adalah dibagikan di negeri tempat zakat itu dikumpulkan, seperti dalam hadits Nabi: “Diambil dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada fakir misikin mereka”. Demikianlah sunnah fi’liyyah Rasulullah saw dan khulafaurrasyidin sesudahnya, tanpa ada yang berbeda pendapat dengannya.
Ketika negeri yang bersangkutan sudah cukup, maka boleh dipindahkan ke Negara lain, atau diserahkan kepada imam untuk dibagikan sesuai dengan kebutuhan. Demikianlah yang Rasulullah dan para khalifah lakuakan tanpa ada yang menolaknya.
Sedangkan jika fakir miskin di negeri yang bersangkutan masih membutuhkan zakatnya orang kaya, maka pemindahan zakat ke Negara lain tidak boleh dilakukan kecuali jika ada kebutuhan yang lebih mendesak. Seperti jika ada suatu Negara muslim yang ditimpa bencana, atau sesuai dengan ijtihad imam menurut pendapat madzhab Hanafi dan Maliki.
Diperbolehkan memindahkan zakat menurut madzhab Hanafi ke Negara lain jika muzakki memiliki kerabat yang membutuhkan di negeri tersebut. Atau jika di negeri kedua itu terdapat fakir miskin yang lebih membutuhkan dari pada negeri yang pertama. Atau jika pemindahan itu lebih membawa maslahat bagi kaum muslimin, atau jika dipindahkan dari negeri perang ke negeri aman, atau jika dipindahkan kepada orang berilmu atau penuntut ilmu, atau dipindahkan untuk pembiayaan proyek Islami yang bermanfaat bagi kaum muslimin di Negara kedua. Ibnu Abidin menuturkan dalam hasyiyahnya lebih banyak lagi contoh seperti ini

  1. Mempercepat dan Menunda Zakat
Zakat wajib dibayarkan seketika, maka ketika syarat-syarat zakat terpenuhi maka saat itu pula wajib dikeluarkan zakatnya. Ia berdosa jika menundanya tanpa ada sebab. Karena perintah menuntut disegerakan. Demikianlah madzhab jumhurul ulama
Diperbolehkan mempercepat pembayaran zakat -artinya dikeluarkan sebelum waktunya- jika zakatnya mensyaratkan haul (masa satu tahun). Demikianlahh madzhab jumhurul ulama. Berbeda dengan madzhab Maliki. Sedang zakat yang tidak mensyaratkan satu tahun seperti tanaman dan buah-buahan, maka tidak boleh membayarnya sebelum waktunya.
Tidak diperbolehkan pula menunda zakat ketika sudah jatuh waktu wajjibnya kecuali jika ada hajat syar’iy seperti menunggu kerabat yang sedang membutuhkan. Dan barang siapa yang menundanya tanpa ada sebab syar’iy ia berdosa menurut kebanyakan ulama. Dan jika kemudian hartanya habis atau kurang sebagiannya sebelum mengeluarkan zakat maka kewajibannya tidak gugur, dan menjadi hutangnya.[17]

Dan jika zakat telah diambil dari sebagian harta yang dimiliki untuk dibagikan kepada yang berhak kemudian hilang, maka jika karena keteledoran pemeliharaannya, maka ia wajib menggantinya dan mengelurkan zakat lagi. Namun jika tidak karena keteledoran maka ia tidak wajib menggantinya, dan cukup membayarkan dengan yang tersisa.
Zakat yang sudah menjadi kewajiban seseorang tidak akan pernah gugur sebelum dibayar meskipun telah lewat beberapa tahun. Menurut   jumhur ulama zakatnya diambil secara keseluruhan dari tahun-tahun yang telah berlalu.
Bahkan zakat  tidak gugur karena kematian. Ia tetap harus dibayarkan dari harta peninggalan meskipun tidak diwasiatkan oleh orang yang meningal. Ini pendapat Jumhur yang didasarkan kepada sabda Rasulullah saw. “… hutang kepada Allah lebih berhar untuk dilunasi…” (Syaikhan)


  1. Rekayasa Menggugurkan Zakat
Haram  hukumnya dan zakat tidak gugur apapun bentuk rekayasanya. Barangkali di dunia  bisa bebas karena permintaan pemimpin untuk menggugurkannya, namun di akhirat tidak selamat dari hisab Allah. Ini juga pendapat  Jumhur, Malikiyah,  Hanabilah, dan lain-lain.
  1. Membayar zakat bisa dilakukan kepada orang fakir secara langsung dan tidak mengatakan bahwa itu zakat. Bahkan banyak ulama yang menganggapnya sunnah agar tidak menyakiti hatinya dan merendahkannya.
















BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
Tugas amil adalah "mengumpulkan, menjaga, mencatat dan menyalurkan atau mendistribusikan hatra zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwewenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan zakat kepada orang-orang yang sudah ditentukan dalam Al-Qur'an.
Amil Zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut yaitu :
e.       Beragama Islam
f.       Mukallaf
g.      Memiliki sifat amanah atau jujur
  1.  
Dalam pembagian zakat Amil memiliki peran yang  penting oleh karena itu tidak sembarang orang dan semua orang yang bisa menjadi amil, karena memiliki syarat-syarat tertentu. Dengan adanya makallah ini semoga dapat menyalurkan zakat melalui lembaga maupun orang yang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002),
Abu Bakar al-Hushaini Kifayat al-Akhyar, diterjemahkan oleh Ahmad Zain An Najah,
Shahih  Fiqh  Sunnah, Shahih  Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, Haji dan Umrah, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 83
Imam  Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I, (Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.), hal. 210.
Sayyid Sabiq diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, Fikih Sunnah, Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hal. 142.
Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat (Hukum, Tata Cara dan Sejarah), (Bandung :Marja 2008),



[1] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hal.127
[2] Abu Bakar al-Hushaini Kifayat al-Akhyar, diterjemahkan oleh Ahmad Zain An Najah, hal. 279

[3] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, (Bandung: CV. Diponogoro, 2001), hal. 156.
[4] Sayyid Sabiq diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap dan Masrukhin, Fikih Sunnah, Jilid 2, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), hal. 142.
[5]  ‘Adil bin Yusuf Al‘Azazi, Tamamul Minnah, tt. hal.. 290
[6] Shahih  Fiqh  Sunnah, Shahih  Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) hal.  69
[7] Imam Bukhary, Shahih Bukhary, Juzu` I, (Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.), hal. 210.

[8] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian, (Jakarta: Gema Insani, 2002) hal.132
[9] Abu Bakar al-Hushaini Kifayat al-Akhyar, diterjemahkan oleh Ahmad Zain An Najah, hal. 279

[10] Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Perekonomian, Jakarta: Gema Insani, 2002)   hal. 99
[11] Mahmud Aziz Siregar, 1999, Hal. 83

[12] Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, Haji dan Umrah, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 83
[13] Ibid., hal 84
[14] Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat (Hukum, Tata Cara dan Sejarah), (Bandung : Marja, 2008), hal. 82
[15]  Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hal. 84
[16] Wahbah Al-Zuhayly, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Puasa, I'tikaf, Zakat, …, hal. 83

[17] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian…, hal. 98

No comments:

Post a Comment