BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah
furu’iyah) dan Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah asasiyah) adalah suatu
kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa. Banyak dari kita yang kurang
mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah
dan kaidah ushuliyah.
Melihat dari fungsinya kaidah
ushuliyah dan kaidah fiqhiyah digunakan sebagai sarana ushul dalam menggali
hukum syar’i. Maka dari itu kedua ushul ini sangat penting untuk di pelajari.
Maka dari itu, kami selaku penulis
mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh,
karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah.
2. Apa tujuan
mempelajari kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah.
3. Contoh
penerapannya dalam muamalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KAIDAH FIQHIYAH
Sebagai studi ilmu agama pada
umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh dan diawali dengan definisi.
Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu
kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah
dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua
uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : ”Suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Menurut Bani Ahmad Salbani kaidah fiqhiyah adalah pedoman umum dan universal bagi pelaksanaan hukum islam yang mencakup seluruh bagiannya.
Kaidah Fiqhiyah disebut juga kaidah syari’yah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengisntinbatkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.
Titik tolak pelaksanaan hukum islam diatur oleh kaidah-kaidah yang berifat universal yang merupakan stasiun keberangkatan suatu perbuatan. Sebagaimana ada kaidah yang menyatakan bahwa keyakinan tidak terkalahkan oleh keraguan, setiap perbuatan harus dilandasi dengan keyakinan, bukan oleh keraguan.
1.
Tujuan
Mempelajari Kaidah Fiqhiyah
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang.
Dibuat demikian agar prinsip-prisip umum, qanun-qanun yang mulia ini menjadi petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan hukum dan menjadi pelita dibawah sinaran nyala api untuk mewujudkan keadilan dan kemashlahatan ummat. Lebih lanjut Khallaf menyatakan bahwa diatara nash-nash tasyrik yang telah menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun kulliyah yang dengan dia diterangi segala undang-undang. Dan diantara nash-nash tasyrik ada yang menetapkan hukum-hukum yang asasi dalam cabang fiqh yang bersifat amali. Dan Al-Qur’an membatasi diri untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap undang-undang agar membuahkan hukum. Keluasan dan kelastisan hukum nash-nash Al-Qur’an itu merupakan koleksi membentuk undang-undang yang terdiri dari daar dan prinsip umum yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan kemashlahatan ummat di setiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap undang-undang yang sudah adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.
Ungkapan khallaf tersebut megisyaratkan bahwa lapangan fiqh begitu luas, karena mencakup berbagai hukum furuq, karena itu perlunya kristalisasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah yang serupa.
Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam megisthimbatkan hukum bagi suatu masalah, yakni menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Dalam kitab
faraidul bahiyah disebutkan, yang artinya: “Sesungguhnya cabang-cabang masalah
fiqh itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah fuqhiyah, maka menghafalkan
kaidah itu besar fungsinya.” (Asjmuni A. Rahman, 1976:17 )
Selanjutnya Imam Abu Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
Sedang Al-Qrafi dalam furu’nya mengatakan bahwa seseorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak yang bertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya. (Asjmuni A. Rahman, 1976:17-19)
Karena itu setiap fuqaha selalu mempunyai kaidah kulliyah sebagai hasil cerminan dari hasil ijtihad furu’nya da mudah dipahami oleh pengikutnya.
B. PENGERTIAN KAIDAH USHULIYAH
Dilihat dari segi kebahasaan, kata Ushul Al-Fiqh terdiri dari dua kata yang punya makna tersendiri, yaitu Ushul dan Al-Fiqh. Ushul adalah jamak dari kata al-ashlu bermakna dasar-dasar yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain. Sedangkan fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dengan demikian ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash dan ijma’ sahabat.
1.
Tujuan
Mempelajari Kaidah Ushuliyah
Kaidah-kaidah ushuliyah merupakan gambaran umum yang pada lazimnya mencakup metode istimbathiayah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi ( kebahasaan ) maupun tarkib ( susunan ) dan uslub-uslubnya ( gaya bahasa ). Karena itu semua metode istimbathiah harus mengacu pada kaidah yang telah di tetapkan dan di sepakati bersama.
Seseorang akan mampu berbicara tetang hukum jika dia telah menguasai kaidah-kaidah usuliyah walaupun pengetahuan tentang dalil nash kurang dikuasai. Misalnya seseorang dihadapka nikah sebagai jalan untuk melestarikan keturunan ( li hifz nasl ) namu pilihanya nonmuslim. Kasus seperti ini, seseorang tak perlu lama-lama mencari nash dalam Al-Qur’an atau assunnah, tetapi cukup mempertimbangkan hierarki kebutuhan manusia yang dharuriah (primer), yaitu memelihara agama lebih penting dari pada memelihara keturunan, bila keduanya bertentangan maka maka memelihara agama harus di dahulukan, karena ia menduduki hierarki yang tertinggi, jadi kasus diatas tidak diperkenankan, kecuali pernikahan antar agama itu membawa maslahah yang pasti, misalnya seseorang menikah dengan seseorang nonmuslimah, karena pada lazimnya seseorang istri mengikuti suamiya.
C. CONTOH KAIDAH-KAIDAH USHULIYAH SERTA DASAR-DASAR PENGAMBILANNYA
1. الامـور بـمـقـاصـده (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
Contoh: kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat.begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.
Dasar kaidah ini
para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi, yang artinya: ”Barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)
2. الضرر يـزال (Kemudharatan harus dihilangkan)
Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56, yang artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Advertiser
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Kaidah tersebut
didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 199, yang artinya: “jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh”
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
4. لايزال بالشـك اليـقـين (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.
5. تـجـلب التـيسـير المـشـقة (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.
Qaidah ini
berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185, yang artinya: “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”. Dan
Surat An-Nisa’ ayat 28, yang artinya: “Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
D. PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAN KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH
1.
Kaidah
ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah
ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum.
Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum,
ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i.
Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum
syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita
bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan
sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum
(layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub”
bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung
suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa
setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan
wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti
dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib
dihilangkan.
2.
Kaidah
ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya
terkandung kedua hal tersebut.
3.
Kaidah
ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau
bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat
istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4.
Perbedaan
antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih
maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain-lain.
5.
Kaidah-kaidah
ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6.
Kaidah-kaidah
ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa
kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang
qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah
bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan
bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7.
Kaidah-kaidah
ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
8.
Kaidah
Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif.
9. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk
meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah
kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah
fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa
tashiliha.
E.
CONTOH
PENERAPAN KAIDAH DALAM MUAMALAH
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, terutama berkaitan dengan permasalahan muamalah. Di antaranya :
1.
Jika
seseorang menjual rumahnya kepada orang lain. Beberapa waktu kemudian, ia
mengatakan bahwa rumah tersebut masih dalam status gadai. Dengan perkataannya
itu, ia ingin membatalkan jual beli. Maka, perkataannya tidak diterima, karena
hukum asal dalam akad jual beli adalah sah. Kecuali jika ia bisa mendatangkan
bukti yang menunjukkan bahwa rumah tersebut berstatus gadai, maka perkataannya
diterima.
2.
Apabila
seseorang telah membeli sebuah mobil. Selang beberapa hari kemudian ia datang
kepada si penjual dan mengatakan ada cacat pada mobil itu. Tujuannya
mendapatkan hak khiyar. Maka hukum asal
dari dakwaan ini adalah tidak diterima kecuali jika si pembeli bisa
mendatangkan bukti kebenaran dakwaannya tersebut. Karena hukum asal dari barang
yang sudah dibeli adalah bebas dari aib (cacat).
3.
Dua
orang melakukan akad jual beli suatu barang. Selang beberapa waktu kemudian, si
penjual mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah, karena ketika pelaksanaan akadnya
dulu ia belum baligh. Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah.
Maka dalam kasus ini perkataan si pembeli yang dimenangkan karena asal dalam
akad jual beli adalah sah, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa akad itu
tidak sah.
4.
Seseorang
menjual sebuah mobil kepada orang lain. Dua hari kemudian, ia datang kepada si
pembeli seraya mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah karena dilaksanakan setelah
adzan shalat Jum’at. Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah
karena dilaksanakan di luar waktu itu. Maka perkataan berpihak kepada si
pembeli. Karena hukum asal suatu akad jual beli adalah sah. Maka, dalam kasus
ini si penjual harus mendatangkan bukti bahwa jual beli itu memang dilaksanakan
setelah adzan shalat Jum’at. Jika ia tidak punya bukti, maka kita katakan
kepada si pembeli supaya bersumpah bahwa jual beli itu terjadi di luar waktu
tersebut dan dihukumi akan sahnya jual beli itu.
5.
Jika
seorang pembeli mengatakan adanya unsur jahalah (ketidak jelasan) atas barang
yang ia beli, dan mengatakan bahwa ia tidak melihat barang ketika
dilaksanakannya transaksi. Dengan tujuan untuk membatalkan jual beli tersebut.
Maka, asalnya perkataan tersebut tidak diterima karena hukum asal dalam akad
jual beli adalah sah. Demikian pula, keberadaan si pembeli yang membawa barang
tersebut menunjukkan bahwa perkataannya tidak benar. Jika memang benar apa yang
ia katakan, tentu ketika akan menerima barang ia menolak menerimanya karena
adanya unsur jahalah.
BAB III
KESIMPULAN
Dilihat dari tata bahasa (Arab),
rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah,
sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti
sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain.
Qawaidul fiqhiyah adalah suatu
perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah
adalah hukum kulli (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi
perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara
penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
Dengan berpegang kepada
kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.Pengertian Qawa’id
Fiqhiyah
Al- Qawa’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan
qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah).
Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam
arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id
al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id al-din, artinya dasar-dasar
agama, qawa’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan
di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail...” (QS. Al-Baqarah : 127)
فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِد
“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari
fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas
atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan. (Ali Ahmad
Al-Nadwi : Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dar al-Qalam, 1420 H/2000
M), cet. V)
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’
nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang
banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman
Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadits Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan
dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka Al-Qawa’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis
adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah
atau jenis-jenis fikih. (Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1976), cet. I)
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi
(istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan
tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang
mengumpulkannya.” (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dar Al-Fikri
Al-Arabi, tt.) hlm. 10
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya.” (Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang
banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah
tadi.” (Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki,
Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz
I, hlm. 11)
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Pengertian Qawa'id /Qaidah Ushuliyah.
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl
dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh
bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan
Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul
fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti
hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula
selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang
hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada
berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang
dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,
yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh,
universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan
sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan kaidah Ushul Fiqh.
Secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
1. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya.
Sedangkan al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya
dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan.
Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang benar.
Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan
hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap
larangan menunjukkan untuk hukum haram.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat
kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut
perbuatan mukallaf.
3. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum
syara’ yang bersifat amaliyyah.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum
fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya
secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan
memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab,
al-qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum
(furu’).
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada furu’
(fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah
masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang
meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah masalah
yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/06/perbedaan-qawaid-fiqhiyah-dengan-qawaid.html
Terima kasih sudah berkunjung.
Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/06/perbedaan-qawaid-fiqhiyah-dengan-qawaid.html
Terima kasih sudah berkunjung.
No comments:
Post a Comment