Pengertian Qawa’id
Fiqhiyah
Al- Qawa’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan
qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah).
Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam
arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id
al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id al-din, artinya dasar-dasar
agama, qawa’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan
di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail...” (QS. Al-Baqarah : 127)
فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِد
“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari
fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas
atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan. (Ali Ahmad
Al-Nadwi : Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dar al-Qalam, 1420 H/2000
M), cet. V)
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’
nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang
banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman
Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadits Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan
dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka Al-Qawa’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis
adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah
atau jenis-jenis fikih. (Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1976), cet. I)
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi
(istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan
tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang
mengumpulkannya.” (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dar Al-Fikri
Al-Arabi, tt.) hlm. 10
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya.” (Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang
banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah
tadi.” (Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki,
Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz
I, hlm. 11)
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Pengertian Qawa'id /Qaidah Ushuliyah.
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl
dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh
bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan
Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul
fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti
hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula
selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang
hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada
berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang
dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,
yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh,
universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan
sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan kaidah Ushul Fiqh.
Secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
1. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya.
Sedangkan al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya
dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan.
Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang benar.
Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan
hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap
larangan menunjukkan untuk hukum haram.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat
kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut
perbuatan mukallaf.
3. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum
syara’ yang bersifat amaliyyah.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum
fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya
secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan
memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab,
al-qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum
(furu’).
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada furu’
(fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah
masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang
meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah masalah
yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/06/perbedaan-qawaid-fiqhiyah-dengan-qawaid.html
Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/06/perbedaan-qawaid-fiqhiyah-dengan-qawaid.html
Terima kasih sudah berkunjung.Pengertian Qawa’id
Fiqhiyah
Al- Qawa’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan
qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah).
Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam
arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id
al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id al-din, artinya dasar-dasar
agama, qawa’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan
di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail...” (QS. Al-Baqarah : 127)
فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِد
“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari
fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas
atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan. (Ali Ahmad
Al-Nadwi : Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dar al-Qalam, 1420 H/2000
M), cet. V)
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’
nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang
banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman
Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadits Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan
dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka Al-Qawa’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis
adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah
atau jenis-jenis fikih. (Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1976), cet. I)
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi
(istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan
tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang
mengumpulkannya.” (Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dar Al-Fikri
Al-Arabi, tt.) hlm. 10
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya.” (Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang
banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah
tadi.” (Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki,
Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz
I, hlm. 11)
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Pengertian Qawa'id /Qaidah Ushuliyah.
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl
dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh
bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan
Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul
fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti
hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula
selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang
hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan
perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada
berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap
mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang
dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,
yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh,
universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan
sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya
berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan kaidah Ushul Fiqh.
Secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
1. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya.
Sedangkan al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya
dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada
pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan.
Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang benar.
Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan
hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap
larangan menunjukkan untuk hukum haram.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat
kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut
perbuatan mukallaf.
3. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum
syara’ yang bersifat amaliyyah.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum
fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya
secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan
memudahkan memahami fiqh.
4. Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab,
al-qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum
(furu’).
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada furu’
(fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah
masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang
meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah masalah
yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/06/perbedaan-qawaid-fiqhiyah-dengan-qawaid.html
Terima kasih sudah berkunjung.
Disalin dari : http://www.bacaanmadani.com/2017/06/perbedaan-qawaid-fiqhiyah-dengan-qawaid.html
Terima kasih sudah berkunjung.
No comments:
Post a Comment