Friday 9 November 2018

POLITIK HUKUM ISLAM ERA KESULTANAN

1 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
POLITIK HUKUM ISLAM ERA KESULTANAN
1Syifa’
2Nabila Saifin Nuha Nurul Haq
ABSTRAK
Eksistensi hukum Islam seringkali dipengaruhi kondisi politik dan
penguasa. Di Indonesia, hukum Islam masih diberlakukan setengah
hati. Padahal, secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah
hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia yang
menerapkan hukum Islam dalam kebijakan mereka. Atas dasar
fenomena itu, naskah ini mengkaji politik hukum Islam pada masa
kesultanan di Indonesia, dengan mendeskripsikan beberapa kerajaan
Islam yang berdiri di Indonesia dan bagaimana kerajaan tersebut
menerapkan hukum Islam serta materi hukum yang telah
diberlakukan pada kerajaan tersebut.Dari hasil analisis didapat
kesimpulan bahwa politik hukum Islam pada masa kesultanan
berupa kebijakan-kebijakan sebagai berikut: menjadikan Islam
sebagai agama resmi kerajaan, pengangkatan beberapa jabatan
dalam kerajaan yang berwenang dalam bidang agama,
memberlakukan beberapa buku pedoman sejenis undang-undang
yang berasaskan syariah Islam untuk dijadikan pedoman dalam
penyelesaian suatu masalah, seperti Papakeum Cirebon di Kerajaan
Cirebon dan kitab Jugul Muda di Kerajaan Demak.
Kata Kunci: politik hukum Islam, kesultanan, kerajaan, agama
resmi
1 Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2 Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
ABSTRACT
The existence of Islamic law is often influenced by political
conditions and the authorities. In Indonesia, Islamic law is still
enforced half-heartedly. Whereas, in the sociological and cultural
level, Islamic law is the implemented law of Muslim society who
live in Indonesia. This can be seen in the history of the kingdoms in
Indonesia who applied Islamic law in their policies. Based on the
phenomenon, this paper examines the politics of Islamic law during
the Sultanate in Indonesia, with description of some
IslamicKingdoms in Indonesia and how the Kingdoms implement
the Islamic law as well as legal materials that have been impose on
the Kingdoms.The results of the studyfind out that the politics of
Islamic law during the Sultanate are concluded in the form of the
following policies: making Islam as the official religion of
Kingdom, the appointment of some positions in the Kingdom's
authorities in the field of religion, enforcementof several quasi-law
handbooks that are based on Islamic Sharia to be used as guidance
in the resolution of an issue, such as Papakeum in the Kingdom of
Cirebon and book of Jugul Mudain the Kingdom of Demak.
Keywords: politik hukum Islam, kesultanan, kerajaan, agama resmi
3 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
PENDAHULUAN
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa
dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa
dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan
hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.
Semakin baik hubungan Islam dan politik, semakin besar peluang
hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam
dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.3
Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu
proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannya menjadi
dua periode, yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap
orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan
kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam meyakini
bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan.
Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal
apabila dikodifikasiakan dalam perundang-undangan nasional.4
Potret sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia sebenarnya
dapat dibaca mulai dari masuknya Islam ke negeri ini. Secara
sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi
hukum yang hidup. Akulturasinya dengan tradisi (adat) terkadang
melahirkan sikap yang ekstrim.5 Semenjak datangnya Islam ke
Indonesia pada abad ke-7 M. dengan penyebaran yang terhitung cepat,
pada abad ke-13 M dan ke-14 M Islam mulai dianggap sebagai
kekuatan politik dan menggesar adat setempat secara perlahan.
Bahkan beberapa abad setelah Islam tersebar di Indonesia, sudah
tercatat beberapa kesultanan Islam yang menerapkan hukum Islam
secara sah sebagai hukum pemerintahan kesultanan tersebut. Hukum
Islam sudah eksis dan berlaku secara formal sebagai hukum positif
jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda di Indonesia.6
3Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. xii-xiv.
4Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group: 2016), hlm. 5.
5Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris, (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 49.
6Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 340.
4 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
Tidak seperti kerajaan-kerajaan Islam yang mulai berdiri pada
abad ke-13 M, dewasa ini, hukum Islam di Indonesia tidak sepenuhnya
diberlakukan sebagai hukum positif. Dalam sejarah perkembangannya,
hukum di Indonesia mengalami pasang surut mengikuti arah politik
yang ada saat itu, begitu juga pemberlakuan hukum Islam. Apa yang
menjadi keinginan penguasa dan pejabat negara, itulah yang nantinya
akan berpengaruh pada kebijakan pemberlakuan hukum Islam. Dalam
tulisan ini, penulis akan memaparkan beberapa aspek politik hukum
Islam pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Dengan
merincikan beberapa kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia dan
bagaimana kerajaan tersebut menerapkan hukum Islam serta materi
hukum yang telah diberlakukan pada kerajaan tersebut.
PENGERTIAN POLITIK HUKUM ISLAM
Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum
yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literatur. Dari berbagai
pengertian atau definisi itu, dengan mengambil substansinya yang
ternyata sama, Prof. Dr. Moh Mahfud MD mengemukakan dalam
bukunya bahwa politik hukum adalah “legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama,
dalam rangka mencapai tujuan negara”. Dengan demikian, politik
hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan
dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan
UUD 1945.7
Dalam Islam, istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah
as-Syar’iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah,
yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang ketentuanketentuannya
tidak termuat dalam syara’. Sebagian ulama
mendefinisikan politik hukum Islam sebagai perluasan peran penguasa
7Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2009), hlm.
1.
5 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
untuk merealisasikan kemaslahatan manusia sepanjang hal-hal tersebut
tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.8
Selanjutnya yang dimaksud dengan politik hukum Indonesia
adalah legal policy yang dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
Indonesia yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan
pembentukan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar
dapat sesuai dengan kebutuhan serta pelaksanaan hukum yang sudah
ada. Menurut Mahfud MD bahwa hukum merupakan produk politik,
sehingga karakter produk hukum sangat ditentukan oleh perimbangan
kekuatan politik (konfigurasi politik) yang melahirkan.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama yang
menyangkut perkembangan penerapan hukum Islam, hukum Islam
mengalami pasang surut mengikuti arah politik yang ada pada waktu
itu. Apa sesungguhnya yang menjadi keinginan dan tujuan para
pemegang kekuasaan, baik kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan
pejabat politik, maka penerapan hukum Islam itu diarahkan kepada
kebijakan tersebut.9
Menurut Mahfud MD, ada perbedaan cakupan antara politik
hukum dan studi politik hukum, di mana yang pertama lebih bersifat
formal pada kebijakan resmi sedangkan yang kedua mencakup
kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Dengan
demikian, studi politik hukum mencakup sekurang-kurangnya tiga hal:
Pertama, kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan
diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan
negara; Kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atas
lahirnya produk hukum; Ketiga, penegakan hukum di dalam
kenyataan lapangan.10
POLITIK HUKUM ISLAM PADA MASA KESULTANAN
Paling tidak, ada dua pendapat mengenai masuknya Islam di
Indonesia. Pertama, pendapat lama yang mengatakan bahwa Islam
8Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiata Wacana, 2005),
hlm. v-vii.
9Siti Mahmudah, “Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Positif Di
Indonesia (Pemikiran Mahfud MD)”, AL-’ADALAH, Volume X, No. 4, Juli 2012,
hlm. 408.
10Moh Mahfud MD, Politik Hukum..., hlm. 3-4.
6 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Pendapat ini dikemukakan
oleh para sarjana, antara lain N.H. Krom dan Van Den Berg. Kedua,
pendapat baru yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke-7 M atau abad 1 Hijriyah. Pendapat baru ini dikemukakan oleh
H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Hamka, Sayed alwi bin Tahir
Alhadad, A. Hasyimy, dan Thomas W. Arnold. Menurut kesimpulan
“Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963, Islam
masuk ke Indonesia sudah semenjak abad pertama Hijriyah atau abad
ke-7 M.11 Simpulan ini didukung oleh kenyataan dengan adanya
makam, yang merupakan tradisi dan ciri khas umat Islam dalam
memelihara mayat, yang sebelumnya tidak pernak dikenal dalam
tradisi masyarakat Hindu-Budha.12
Pada saat Islam datang, secara perlahan-lahan ajaran Islam
diterima oleh masyarakat dan menggeser ajaran-ajaran agama Hindu-
Budha sebagai agama yang telah ada dan dianut masyarakan Indonesia
sebelumnya. Ajaran Islam juga secara berangsur-angsur diterapkan dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan hukum Islam ini
bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu melainkan juga
diterapkan pula dalam masalah-masalah muamalat, munakahat dan
uqubat (jinayah/hudud).
Sebelum belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia,
hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai
kedudukan yang kuat, baik pada tataran masyarakat maupun dalam
perundang-undangan negara. Penerimaan dan penerapan hukum Islam
ini dapat dilihat pada masa-masa awal kerajaan Islam. Pada masa
kesultanan Islam, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi
sebagai hukum negara (hukum positif). Kerajaan-kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah
kekuasaannya masing-masing. Seperti Kerajaan Islam Samudera Pasai
yang berdiri di Aceh pada akhir abad ke-13, dilanjutkan dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian timur Indonesia berdiri
11Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm.
302-303.
12Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), hlm. 119.
7 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
pula Kerajaan Tidore dan Makassar. Dan selanjutnya pada pertengahan
abad ke-16, berdiri sebuah dinasti baru yakni Kerajaan Mataram.13
Beberapa aspek politik hukum Islam yang telah berkembang
pada beberapa kerajaan Islam di Indonesia diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Kerajaan Samudera Pasai (1267-1521 M)
Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada
akhir abad ke-13 M, merupakan kerajan Islam pertama di
Indonesia, dengan Malik al-Saleh sebagai sultan pertama, yang
kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan islam
lainnya. Kemunculan bentuk baru kekuasaan pada akhir abad
ke 13 M di Samudera Pasai, yaitu kesultanan, telah merubah
secara mendalam sistem politik yang telah dikenal hingga saat
itu di kepulauan nusantara. Setelah perpindahan agama baru
oleh raja dan penduduknya, Islam memainkan peran penting.14
Seperti yang telah ditulis oleh Ibn Batutah, seorang
pelancong Maroko, ketika mengisahkan perjalanannya di
Samudera Pasai, ia juga menulis perihal praktik hukum Islam di
Samudera Pasai, bahwa mazhab hukum Islam yang diikuti oleh
sultan dan penduduk di Samudera Pasai adalah mazhab Syafi’i.
Di Samudera Pasai juga diberlakukan lembaga-lembaga
keagaamaan seperti qadhi dan mufti. Pelaksanaan jihad, jizyah,
dan pemisahan wilayah Islam dan bukan-Islam di Kesultanan
Samudera Pasai berkait dengan pemikiran dan aturan hukum
Islam.15
2. Kerajaan Cirebon/Pringan (1430-1677 M)
Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa
Barat. Tomo Peres menyebutkan bahwa Islam sudah ada di
Cirebon sekitar tahun 1470-1475 M. orang yang berhasil
meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan yaitu
Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan gelar “Sunan Gunung
13Aliddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011),hlm. 197-198.
14Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14
Masehi”, ISLAMICA, Volume 9, No. 1, September 2014, hlm. 278.
15Ayang Utriza Yakin, “Islamisasi dan Syariatisasi..., hlm. 281-288.
8 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
Jati” sebagai pengganti sekaligus ponakan dari Pangeran
Walang Sungsang. Dialah pendiri Kerajaan Cirebon.16
Sunan Gunung Jati memilih Cirebon sebagai pusat
aktifitas penyebaran Islam dengan pertimbangan sosial politik
dan ekonomi saat itu. Yang mana Cirebon memiliki nilai
geostrategis, geopolitik, geoekonomi yang menentukan
keberhasilan penyebaran Islam untuk masa-masa berikutnya.
Berangkat dari Cirebon itulah Islam dapat berkembang luas ke
daerah-daerah sekitar Jawa Barat seperti Majalengka, Sunda
Kelapa, Kuningan maupun Banten.17
Di Cirebon atau Priangan terdapat 3 bentuk peradilan
yang berjalan yaitu: Peradilan Agama, Peradilan Drigama,
Peradilan Cilaga. Masing-masing peradilan memiliki
kewenangan yang berbeda-beda. Peradilan Agama mempunyai
wewenang terhadap perkara-perkara yang dapat dijatuhi
hukuman mati. Pada awalnya perkara ini merupakan perkara
yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan
Mataram sudah merosot maka perkara-perkara tersebut tidak
lagi dikirim ke Mataram. Untuk kewenangan absolut Peradilan
Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris.
Peradilan Drigama bekerja dengan pedoman hukum Jawa Kuno
dan diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara
Peradilan Cilega adalah peradilan khusus masalah niaga.
Peradilan Cilega juga dikenal dengan istilah Peradilan Wasit.18
Istilah Agama dan Drigama terdapat dalam Pepakem
Cirebon yang digunakan untuk mengadakan pemisahan
menurut sifatnya diantara perkara-perkara yang harus diadili.
Igama adalah perkara-perkara keagamaan dan harus
diselesaikan berdasarkan hukum adat. Toya Gamaadalah
perkara-perkara yang diselesaikan berdasarkan percobaan
hukum yang berat.19Pepakem sendiri merupakan kompilasi dari
hukum perundang-undangan Jawa Kuno yang memuat kitab
16Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1978), hlm. 17.
17Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik
di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 21.
18Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2, Desember
2015, hlm. 315.
19Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan..., hlm. 106.
9 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya
Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah. Dalam sistemnya,
pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang
mewakili tiga sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang
menteri itu diputuskan menurut undang-undang Pepakem.20
3. Kerajaan Demak (1475-1554 M)
Kesultanan Demak atau kerajaan Demak adalah
kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa.
Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari Kerajaan
Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi
legitimasi dari kebesaran Majapahit. Kerajaan ini tercatat
menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan
Indonesia pada umumnya, walau tidak berumur panjang dan
segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan.
Pada masa pemerintahan Sultan Fatah di Demak adalah
awal berlakunya syariat Islam di Jawa. Untuk pelaksanaannya
di seluruh wilayah yuridiksi Kerajaan Demak, Sultan Fatah
telah mengambil sumber dari beberapa kitab fikih madzhab
syafi’i, seperti: Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Kitab Muharrar, Kitab
Taqrib dan masih banyak lainnya.
Sultan fatah bahkan memulai pelaksanaan syariat Islam
di tanah Jawa dengan menyusun karya besar yang terkenal
dengan kitab Jugul Muda. Kitab ini merupakan kodifikasi
hukum syariat Islam yang diambil dari beberapa kitab fikih,
terutama kitab Muharrar, Taqrib dan Tuhfahsebagai kitab
Undan-undang kesultanan Demak. Dilengkapi salokantara yang
berisi 1044 contoh kasus hukum.21
4. Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903 M)
Salah satu dari sederetan nama kerajaan Islam terbesar
di Indonesia adalah kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini
berdiri pada tahun 1511 M bersamaan dengan jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis. Sultan Ali Mughiyah Syah yang terkenal
20Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 114-115.
21Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 345-346.
10 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
dengan sebutan Sultan Ibrahim menjadi penguasa pertama
(1514-1528) sekaligus sebagai pendiri kerajaan Aceh
Darussalam.22
Sultan Iskandar Muda, sultan yang telah
menghantarkan Aceh Darussalam ke babak gemilangnya,
sangat ketat dalam menerapkan hukum Islam. Sesuai dengan
konstitusi kerajaan Aceh Darussalam “Qanun Meukuta Alam”
yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, Sultan Iskandar
Muda menerapkan hukuman mati, seperti hukuman rajam bagi
putranya yang bernama Meurah Pupok karena terbukti berzina
dengan istri seorang perwira kerajaan. Sultan iskandar Muda
juga mengeluarkan kebijakan mengharamkan riba dalam
wilayah kekuasaannya.23
Di kerajaan Aceh Darussalam, peran keagamaan
dipimpin oleh seorang ulama yang disebut syaikhul islam.
Dialah yang menjadi patron berbagai kebijakan pemerintahan
berkaitan dengan agama. Pada masa syaikhul Islam dipegang
oleh Nuruddin ar-Raniry (1637-1641), ia mengarang beberapa
kitab yang kemudian menjadi pegangan para hakim di seluruh
wilayah kekuasaan Aceh dalam memutuskan perkara. Hal yang
sama juga dilakukan pada masa pemerintahan Sultanah
Safiatuddin (1641-1675) dengan syaikhul Islam Abdurrauf
Syiah Kuala (1642-1693).24
Pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Aceh ini menyatu
dengan peradilan negara dan dilakukan secara bertingkat mulai
dari kampung yang dipimpin oleh Keucik, untuk perkaraperkara
ringan saja. Sedangkan perkara-perkara berat
diselesaikan oleh Balai Hukum Muhkim. Peradilan tingkat
kedua yang merupakan peradilan banding adalah Oeloebalang.
Jika keputusan Oeloebalang tidak memuaskan, dapat
dimintakan banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi.
Keputusan Panglima Sagi bisa dimintakan banding kepada
sultan pengadilan tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung yang terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya,
22M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan Abad XVII,
(Yogyakarta: Karunia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 11-12.
23Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 341.
24Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 343.
11 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandahara, dan Faqih
(Ulama).25
5. Kerajaan Banjar-Kalimantan Selatan (1520-1860 M)
Pada awalnya kerajaan Banjar merupakan kelanjutan
dari kerajaan Dhaha yang beragama Hindu, namun akhirnya
tercatat sebagai kerajaan Islam yang terkenal. Kerajaan Banjar
di Kalimantan Selatan dikenal sebagai kerajaan Islam setelah
Pangeran Samoedra bersedia masuk Islam dengan bantuan
Sultan Demak atas kemenangan Pangeran Samoedra pada
pertempuran melawan pangeran Tumenggung dari Dhaha.
Setelah memenangkan peperangan tersebut, Pangeran
Samoedra mengganti namanya menjadi Pangeran Suriansyah
atau Sultan Suryanullah sekaligus dinobatkan sebagai raja
pertama di Kerajaan Islam Banjar.26 Kentalnya hukum Islam
pada masyarakat di Kerajaan Banten tercermin dalam suatu
adagium yang terdapat dalam bai’at (janji) kerajaan yang
berbunyi “Patih Baraja’an Dika, Andhika badayan Sara”.
Artinya “Saya tunduk pada perintah Tuanku, karena Tuanku
berhukumkan hukum syara’.”
Tumbuh dan berkembangnya hukum Islam di Kerajaan
Banjar dibuktikan dengan terbentuknya para mufti dan para
Qadhi yang pada waktu itu bertugas untuk menangani masalahmasalah
dibidang hukum perkawinan, perceraian, kewarisan
serta segala urusan yang berhubungan dengan hukum keluarga.
Bahkan yang menarik, selain menangani hukum perdata,
Kerajaan Banjar juga menangani perkara pidana. Tercatat
dalam sejarah Banjar bahwa hukum bunuh bagi orang yang
murtad, hukum potong tangan bagi pencuri, dan hukum jera
bagi pezina sudah diberlakukan dilingkungan Kerajaan
Banjar.27
Sebelum abad ke 18 M, dalam Kerajaan banjar
pimpinan agama tidak termasuk dalam struktur kerajaan.
Hukum Islam sebelumnya tidak diberlakukan dalam kerajaan.
Hukum yang berlaku saat itu terhimpun dalam sebuah buku
undang-undang hukum yang disebut Kutara. Kitab tersebut
25Aliddin Koto, Sejarah Peradilan...,hlm. 204.
26Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam..., hlm. 26.
27Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam..., hlm. 28.
12 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
disusun oleh Arya Trenggana ketika dia menjabat sebagai
Mangkubumi Kerajaan. Mangkubumi mempunyai wewenang
dalam keputusan terakhir seseorang yang dijatuhi hukuman.28
Baru setelah Tahmidullah II berkuasa, perkembangan
Islam semakin maju. Hal tersebut tidak lepas dari peran
beberapa ulama pada saat itu. Perubahan terjadi ketika Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari kembali dari Mekkah. Ia sangat
disegani oleh Sultan karena ilmu agamanya yang mendalam.
Sehingga beliaupun diangkat sebagai penasehat dalam
kerajaan. Hubungan baik antara Sultan dan Ulama terlihat jelas
dalam kitab Sabilal Muhtadin yang ditulis atas permintaan
Sultan yang berkuasa pada saat itu, untuk dijadikan pedoman
hukum meski masih terbatas dalam bidang-bidang tertentu.
Kitab pada dasarnya merupakan sarah dari kitab Sirathal
Mustaqim karya Nuruddin Ar-Raini. Pembentukan Mahkamah
Syariah juga di usulkan oleh Syeikh Arsyad karena mengingat
bahwa pelaksanaan hukum Islam tidak mungkin berjalan
maksimal tanpa adanya lembaga yang mengaturnya. Karena itu
atas persetujuan dari Sultan, Mahkamah Syariah pun bisa
didirikan. Mufti sebagai ketua Mahkamah Syariah juga
didampingi oleh Qadhi yang berfungsi sebagai pelaksana
hukum dan mengatur jalannya pengadilan.29
Tidak berhenti disitu, perkembangan hukum Islam
semakin terlihat jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam al-
Wasik Billah yang memerintah tahun 1825-1857 M. Pada
masanya ia mengeluarkan Undang-Undang Negara pada tahun
1835 M yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang
Sultan Adam, yang mana dalam undang-undang tersebut
terlihat jelas bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah
hukum Islam.30 Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar
bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan dalam kerajaan,
tetapi lebih dari itu ia diakui sebagai ‘ulil amri kaum muslimin
di seluruh kerajaan.31
28Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara..., hlm. 75.
29Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara..., hlm. 83-84.
30Undang-Undang Negara, Undang-Undang Sultan Adam, 1835.
31Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 357.
13 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
6. Kerajaan Banten (1526-1813 M)
Banten merupakan kota yang strategis sebagai
penghasil merica dan tempat pelabuhan yang memungkinkan
kapal-kapal dagang Cina, India, Eropa untuk singgah disana.
Strategisnya kota Banten semakin melapangkan jalan bagi
perkembangan Islam di masa-masa selanjutnya. Masuknya
Islam ke kerajaan Banten ada dua versi. Pertama, kerajaan
Banten menerima Islam dengan cara damai setelah penguasa
Banten dengan sukarela menerima Islam atas ajakan Sunan
Gunung Jati. Kedua, kerajaan Banten menerima Islam tidak
seluruhnya dilakukan secara damai, tetapi juga dilakukan
dengan kekerasan bahkan sampai diserang tiba-tiba.32
Qadhi memainkan peran penting dalam pemerintahan
kesultanan Banten. Selain bertanggungjawab dalam
penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, ia juga
berperan dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.33 Pada
tahun 1651-1680 M dibawah kekuasaan Sultan Ageng,
diberlakukan hukuman terhadap pencuri dengan memotong
tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya untuk
pencurian harta secara berturut-turut senilai 1 gr emas.34
Disana selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap
pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opium dan
tembakau. Hukuman berat juga dilakukan terhadap
pelanggaran seksual.35
Peradilan Banten disusun menurut hukum Islam yang
memang pada masa Sultan Hasanuddin tidak ada bekas
pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu. Pada abad ke 17
M, hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qadhi. Satusatunya
peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh
Hindu ialah hukuman mati yang dijatuhkan oleh Qadhi yang
memerlukan pengesahan oleh Raja.36
32Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam..., hlm. 23.
33Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 356.
34Anthony Reid, AsiaTenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1992), hlm. 163.
35Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 69.
36Ahmad R, “Peradilan Agama..., hlm. 316.
14 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
7. Kerajaan Mataram (1588-1681 M)
Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di Jawa
tengah yang berdiri sejak runtuhnya Kesultanan Pajang pada
tahun 1582 M. Raja pertamanya adalah Sutowijoyo dan
bergelar “Panembahan Senopati Sayidin Panotogomo”. Pada
masa pemerintahan Raden Mas Ransang, Kerajaan Mataran
meraih kejayaan terbesar, baik dalam bidang ekspansi militer
maupun dalam bidang agama dan kebudayaan. Dialah raja
Mataram pertama yang menerima pengakuan dari Mekkah
sebagai seorang sultan, kemudian mengambil gelar
selengkapnya “Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing
Alogo Ngabdurrahman”.
Pada masanya, Sultan Agung telah memberlakukan
hukum perdata serta hukum pidana (qishas) di Kerajaan
Mataran Islam, dengan mengambil landasan hukum dan
aturannya dari kitab-kitab qishas. Menurut kuncen Keraton
Yogyakarta, alun-alun Yogyakarta di masa dahulu merupakan
lapangan tempat pelaksanaan hukum rajam dan potong tangan
bagi pezina atau pencuri yang terbukti bersalah. Di masa
Kesultanan Mataran ini telah dikenal istilah perdata dan
pidana, jika dibandingkan dengan kesultanan Samudera Pasai,
kesultanan Mataram jauh lebih spesifik dan mampu
mengakomodasi hukum adat setempat, yakni adat Jawa.37
Di antara bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan
Islam di Indonesia yang banyak meninggalkan ciri-ciri pada
sistem pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini adalah
Kerajaan Mataram di Jawa, terutama ciri dalam menempatkan
bidang agama sebagai bagian dari pemerintahan umum.38
Jabatan keagamaan di tingkat desa disebut Kaum, Amil,
Modin, Kayim, Lebai dan sebagainya. Pada tingkat Kecamatan
atau Kewedanan ada Penghulu Naib. Pada tingkat Kabupaten
terdapat seorang penghulu kabupaten dan pada tingkat
Pemerintahan Pusat terdapat Kanjeng Penghulu atau Penghulu
37Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 347-348.
38Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum..., hlm. 351.
15 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
Ageng yang berfungsi sebagai “hakim” dalam Peradilan
Agama.39
Pada saat awal berdirinya, ajaran yang berkembang
adalah ajaran Hindu yang kemudian mempengaruhi sistem
peradilan saat itu. Ketika itu perkara dibagi menjadi dua
bagian, yaitu 1) perkara yang menjadi urusan negara
(perkaranya disebut Pradata) dan 2) perkara yang bukan urusan
pengadilan raja (perkaranya disebut Padu).
Dengan munculnya Mataram menjadi kerajaan Islam, di
bawah pemerintahan Sultan Agung mulai diadakan perubahan
dalam sistem peradilan. Beliau memasukkan unsur-unsur
hukum dan ajaran agama Islam dalam Peradilan Pradata dengan
mengorbitkan orang-orang yang berkompeten dalam bidang
hukum Islam di lembaga peradilan. Sultan Agung mengambil
kebijakan politik hukumnya dengan mengisi lembaga yang
telah berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan prinsip
ke-Islam-an. Namun, setelah kondisi masyarakat dianggap siap
dan paham, maka Peradilan Pradata yang ada diubah menjadi
Peradilan Surambi. Dinamakan Peradilan Surambi karena
diselenggarakan di Serambi Masjid Agung.40
8. Kerajaan Makassar-Sulawesi Selatan (1591-1669 M)
Kerajaan Makassar sering disebut juga Kerajaan Gowa
dan Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan. Kedua
kerajaan itu saling mengadakan hubungan baik, sehingga
banyak orang luar hanya mengenal sebagai kerajaan Makassar
saja.41 Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan menurut
Ensiklopedi Islam melalui dua tahapan. Pertama, secara tidak
resmi melalui jalur perdagangan. Banyak pedagang asal
Sulawesi berdagang keluar pulau dan bertemu dengan saudagar
muslim, begitupun sebaliknya. Kedua, Islam secara resmi
diterima oleh Raja Gowa-Tallo pada malam Jumat 22
September 1605 M yang ditandai dengan kedatangan tiga
orang datuk yang berasal dari kota tengah, Minangkabau. Raja
39Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 50.
40Aliddin Koto, Sejarah Peradilan...,hlm. 201.
41Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara..., hlm. 65.
16 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
pertama yang menerima Islam pada hari itu juga ialah raja
Tallo yang bernama I Malingkaang Daeng Mannyonri.
Disamping sebagai raja, Baginda Tallo merangkap sebagai
Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Kerajaan Gowa. Setelah
memeluk Islam, raja mengganti namanya menjadi Sultan
Abdullah Awwalul Islam. Menyusul kemudian raja Gowa XIV
I Mangngerengi Daeng Manrabbia memeluk Islam dan berganti
nama menjadi Sultan Alauddin.42
Dengan datangnya Islam yang disetujui oleh kedua
kerajaan tersebut kemudian keduanya menjadi kerajaan terkuat.
Hal tersebut dikuatkan kembali dengan terjadinya konversi ke
dalam Islam secara besar-besaran yang ditandai dengan
keluarnya dekrit oleh Sultan Alauddin pada 9 November 1607
M. dekrit tersebut berbunyi: “Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan
Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh rakyat yang
bernaung dibawah kerajaan harus menerima Islam sebagai
agamanya”.43
Setelah menjadi kerajaan Islam, raja Gowa
menempatkan Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at/Pengadilan
tingkat II) yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek
(Pejabat Adek) yang sudah ada sebelum datangnya Islam.
Parewa Syara’ dipimpin oleh kali (Qadhi) yaitu pejabat tinggi
dalam syariat Islam yang berkedudukan dipusat kerajaan
(Pengadilan tingkat III). Di masing-masing Paleli diangkat
pejabat bawahan yang disebut Imam serta dibantu oleh seorang
Khatib dan seorang Bilal (Pengadilan Tingkat I). Para qhadi
dan pejabat urusan tersebut diberikan gaji yang diambilkan dari
zakat fitrah, zakat harta, sedekah Idul Fitri dan Idul Adha,
kendurui kerajaan, penyelenggaraan mayat dan
penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat
pemerintah raja Gowa XV (1637-1653) ketika Malikus Said
berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang menjadi hakim
agama Islam.44
42Nelmawarni dan Idawati Djohar, Laporan Penelitian Tiga Tokoh Minangkabau
Pembawa Islam ke Sulawesi Selatan, (Padang: Institut Agama Islam Negeri Imam
Bonjol Padang, 2013), hlm. 1.
43Nidia Zuraya, “Masuknya Islam di Pulau Sulawesi”, Republika, B6 (Januari 2011).
44Ahmad R, “Peradilan Agama..., hlm. 316.
17 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
KESIMPULAN
Dalam Islam, istilah politik hukum disebut dengan as-Siyasah
as-Syar’iyyah yang merupakan aplikasi dari al-maslahah al-mursalah,
yaitu mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang ketentuanketentuannya
tidak termuat dalam syara’.
Politik hukum Islam pada masa kesultanan terkonfigurasi
dalam kebijakan-kebijakan. Pada masa kesultanan, Islam dijadikan
sebagai agama resmi kerajaan dengan cara memberlakuan segala aspek
keagamaan pada seluruh sistem kerajaan, pengangkatan beberapa
jabatan dalam kerajaan yang berwenang dalam bidang agama,
memberlakukan beberapa buku pedoman sejenis undang-undang yang
berasaskan syariah Islam untuk dijadikan pedoman dalam penyelesaian
suatu masalah, seperti Papakeum Cirebon di Kerajaan Cirebon dan
kitab Jugul Muda di Kerajaan Demak, serta segala pemberlakuan
hukum perdata maupun hukum pidana dengan melihat pada praktek
yang telah berjalan di dalam kerajaan.
18 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia, Volume. 6, No. 2,
Desember 2015.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH,
2009.
Azra,Azyumardi,Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.
Bisri,Cik Hasan,Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris
Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKIS, 2005.
Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi
Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju
Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Harun, M. Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan Abad
XVII, Yogyakarta: Karunia Kalam Sejahtera, 1995.
Khallaf, Abdul Wahab, Politik Hukum Islam, Yogyakarta: Tiata
Wacana, 2005.
Koto, Aliddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2011.
Mahfud MD, Moh, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo, 2009.
Mahmudah, Siti, “Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum
Positif Di Indonesia (Pemikiran Mahfud MD)”,
AL_’ADALAH, Volume X, No. 4, Juli 2012.
Mukhlas, Oyo Sunaryo, Perkembangan Peradilan Islam, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.
Nelmawarni dan Idawati Djohar, Laporan Penelitian Tiga Tokoh
Minangkabau Pembawa Islam ke Sulawesi Selatan, Padang:
Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, 2013.
Reid, Anthony,Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Suadi, Amran dan Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum
Perdata dan Pidana Islam serta Ekonomi Syariah, Jakarta:
Prenadamedia Group: 2016.
19 | Volume 13, No. 1, Januari–Juni 2017
Jurnal Reflektika
Sumitro,Warkum,Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan
Sosial Politik di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing,
2005.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1978.
Yakin, Ayang Utriza, “Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai
Abad Ke-14 Masehi”, ISLAMICA, Volume 9, No. 1,
September 2014.

No comments:

Post a Comment