Friday 6 July 2018

Makalah Ushul Fiqh Mutlaq dan Muqayyad

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Di dalamnya terdiri dari berbagai surat yang kesemuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata lafazh yang ada di dalamnya mengandung makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata (lafazh) tersebut tak jarang dijumpai sebuah kata (lafazh) yang maknanya begitu luas tanpa batasan, yang    mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna asalnya.ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja (makna asal). Untuk itulah dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pembagian lafazh dari segi kandungan pengertiannya. Yang diantaranya membahas mengenai Muthlaq dan Muqayyad.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas mencakup:
1.      Apa pengertian dari mutlaq dan muqayyad ?
2.      Bagaimana hukum lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad ?
3.      Bagaimana pendapat ulama mengenai hukum mutlaq dan muqayyad.
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari mutlaq dan muqayyad..
2.      Untuk mengetahui hukum lafazh mutlaq dan muqayyad.
3.      Untuk mengetahuipendapat ulama tentang mutlaq dan muqayyad.                                          
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mutlaq dan Muqayyad  ﺍﻠﻤﻗﻳﺩ اﻠﻤﻄﻠﻖ ﴿
1.      Pengertian mutlaq dan muqayyad
     Mutlaq adalah lafaz  yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayid  (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak tertentu dari hakikat tersebut. Lafazh mutlaq ini pada umumya berbentuk lafaz nakirah dalam konteks kalimat positif.[1] Para ulama ushul fiqh berbeda-beda dalam memberikan pengertian mutlaq, namun semuanya beretemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.[2]
Berikut adalah pengertian mutlaq menurut para ulama:
a.       Menurut Muhammad al-Khudhari Beik mutlaq ialah lafazh yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi.
b.      Menurut al-Amidi mutlaq ialah lafazh yang member petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.
c.       Menurut Ibn Subki mutlaq ialah lafazh yang member petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada ikatan apa-apa.
d.      Menurut Abu Zahrah mutlaq ialah lafazh yang member petunjuk terhadap maudhu’-nya sasaran (sasaran pengguna lafazh) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi member petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.[3]
Misalnya, kata  رَقَبَةٍ  yang terdapat pada firman Allah SWT. Lafazh di bawah ini merupakan mutlaq, karena tidak dibatasi sifat tertentu. 
     (ﺍﻠﻤﺠﺎﺪﻠﺔ :۳ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ
Artinya: “Maka memerdekakan seorang budak”.
Sedangkan pengertian muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang memperesmpit keluasan artinya.[4] Misalnya, kata  رَقَبَةٍ disifati dengan kata  مُّؤْمِنَةٍ  pada firman Allah SWT.
                                                               (۹۲ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ)  ۖ مُّؤْمِنَةٍ  رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ
Artinya: Maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
2.      Hubungan antara lafazh mutlaq dan muqayyad
Menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin terdapat 7 (tujuh) pola hubungan antara lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad, hal ini terdapar dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh, yaitu:
a.    Hukum yang disebutkan oleh nash yang satu dengan nash yang lainnya adalah sama dan sebab yang menimbulkan hukum itu juga sama. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 3:
                         (۳ﺍﻠﻤﺎﺌﺪﺓ)  الْخِنزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ
Artinya:Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah dan daging babi”. 
Kata  وَالدَّمُ (dan darah) pada ayat di atas adalah mutlaq; dalam arti tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun. Selanjutnya, dalam firman Allah pada surah Al-an’am ayat 145:
 مَّسْفُوحًا دَمًا أَوْ مَيْتَةً يَكُونَ أَن إِلَّا يَطْعَمُهُ طَاعِمٍ عَلَىٰمُحَرَّمًا إِلَيَّ أُوحِيَ مَا فِي أَجِدُ لَّا قُل                                                                 (۱۴۵ ﺍﻷﻧﻌﺎﻢ)  خِنزِيرٍ لَحْمَ أَوْ
Artinya: “Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepadaku                                      tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai, darah                                          yang mengalir dan daging babi”.
Pada ayat di atas, kata  وَالدَّمُ (dan darah) diberi sifat dengan مَّسْفُوحًا (mengalir). Tetapi hukum pada kedua ayat tersebut adalah sama, yaitu sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang menimbulkan hukum juga sama, yaitu “darah”. Kedua contoh di atas, kata “darah” yang terdapat dalam lafazh mutlaq harus diartikan dengan “darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat dalam lafazh muqayyad.
b.    Sebab yang menimbulkan hukum berbeda antara lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad, namun hukum yang terdapat dalam dua lafazh tersebut adalah sama. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-mujadalah ayat 3:
        (۳ ﺍﻠﻤﺟﺎﺪﻠﺔ ) ۚ يَتَمَاسَّا أَن قَبْلِ مِّن رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ
   Artinya: Maka memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu                                                  bercampur”.
Lafazh رَقَبَةٍ yang menjelaskan kafarah zhihar ini adalah dalam bentuk mutlaq. Selanjutnya, dalam firman Allah pada surah An-nisa’ ayat 92:
  (۹۲ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ)  مُّؤْمِنَةٍ  رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَن
          Artinya: “Dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah itu maka                                            hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Lafazh رَقَبَةٍ pada ayat di atas diberi qayid (batasan) yaitu dengan sifat  مُّؤْمِنَةٍ. Sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat di atas berbeda: pada lafazh mutlaq (ayat pertama) adalah dalam kasus kafarah zhihar, sedangkan pada lafazh muqayyad  (ayat kedua) dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum dalam kedua ayat di atas adalah sama, yaitu kewajiban memerdekakan hamba sahaya (budak).
c.    Sebab sama, sedangkan hukumnya berbeda. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-maidah ayat 6:
    الْمَرَافِقِ  إِلَى وَأَيْدِيَكُمْ وُجُوهَكُمْ فَاغْسِلُوا الصَّلَاةِ إِلَى قُمْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
                                                                                     (۶ﺍﻠﻤﺎﺌﺪﺓ)
   Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri mengerjakan shalat maka                                  basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku”.
Dalam ayat di atas dijelaskan keharusan mencuci “tangan sampai siku” dalam bentuk muqayyad. Selanjutnya, firman Allah pada ayat yang sama:
 (۶ﺍﻠﻤﺎﺌﺪﺓ) ۚ مِّنْهُ وَأَيْدِيكُم بِوُجُوهِكُمْ فَامْسَحُوا طَيِّبًا صَعِيدًا فَتَيَمَّمُوا مَاءً تَجِدُوا فَلَمْ
Artinya: bila kamu tidak memperoleh air maka bertayamumlah tanah yang bersih,                                         sapulah muka dan kedua tanganmu dengannya”.
Dalam ayat ini dijelaskan keharusan menyapukan tanah pada muka dan dua tangan. Kata “tangan” di sini tidak diikatkan kepada suatu sifat. Hal ini merupakan lafazh mutlaq. Hukum dalam kedua ayat tersebut berbeda, yaitu pada yang lafazh mutlaq (ayat kedua) adalah kewajiban menyapu, sedangkan pada  lafazh muqayyad (ayat pertama) adalah kewajiban mencuci. Sebab dalam kedua ayat tersebut adalah sama, yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat.
d.   Sebab yang menimbulkan hukum dalam lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad adalah berbeda, demikian pula hukumnya-pun berbeda pula. Dalam hal ini, ulama sepakat bahwa lafazh mutlaq tidak ditangguhkan kepada lafazh muqayyad; masing-masing diperlakukan menurut sifatnya. Misalnya:
Ø  Firman Allah dalam surah Al-maidah ayat 38:
    (۳۸ﺍﻠﻤﺎﺌﺪﺓ)  أَيْدِيَهُمَا فَاقْطَعُوا وَالسَّارِقَةُ وَالسَّارِقُ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, maka potonglah tangan                                         mereka”.
Ø  Firman Allah dalam surah Al-maidah ayat 6:
         الْمَرَافِقِ  إِلَى وَأَيْدِيَكُمْ وُجُوهَكُمْ فَاغْسِلُوا الصَّلَاةِ إِلَى قُمْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
                                                                                          (۶ﺍﻠﻤﺎﺌﺪﺓ)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri mengerjakan shalat maka                                     basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku”.
Pada ayat pertama disebutkan “tangan” secara mutlaq tanpa qayid atau sifat apa-apa; sedangkan pada ayat kedua “tangan” yang disebutkan mempunyai qayid, yaitu sampai siku. Hukum pada kedua ayat tersebut berbeda: pada ayat pertama disenutkan secara mutlaq keharusan memotong tangan, pada ayat kedua yang muqayyad keharusan mencuci tangan. Sebab berlakunya hukum juga berbeda: pada ayat yang pertama yang mutlaq tentang sanksi hukum terhadap pencuri, sedangkan pada ayat kedua yang muqayyad tentang berwudhu untuk melakukan shalat.
e.    Adakalanya salah satu di antara keduanya (lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad), dalam bentuk itsbảt (membenarkan) dan yang satu lagi dalam bentuk nafy (membantah). Contohnya, seseorang berkata, “Memerdekakan hamba sahaya”. Lalu berkata lagi, “Jangan memerdekakan hamba sahaya yang kafir”. Atau ia berkata, “Memadai memerdekakan hamba sahay muslim”. Kemudian berkata lagi, “Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya”. Lafazh mutlaq dalam contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan atau lawan (antonim) qayid pada lafazh yang muqayyad. Pada contoh pertama kata “hamba sahaya” diberi qayid dengan “muslim dan pada contoh kedua “hamba sahaya” diberi qayid dengan kata “Muslim”.
f.     Bila dalam keduanya (lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad) dalam bentuk nafy atau dalam bentuk melarang; atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk melarang, maka dalam hal hal ini lafazh mutlaq diberi qayid dengan sifat yang terdapat dalam lafazh muqayyad.
Contoh bentuk pertama, perkataan, “tidak cukup menyembelih hewan” dan “tidak cukup menyembelih hewan sakit”. Contoh bentuk kedua, perkataan, “jangan menyembelih hewan”---“jangan menyembelih hewan sakit”---“jangan menyembelih hewan”.
Bentuk dan contoh yang disebutkan sebelumnya adalah lafazh muqayyad berada dalam satu tempat, sehingga lafazh mutlaq hanya mungkin ditangguhkan kepada lafazh muqayyad itu saja.
g.    Bentuk lain adalah lafazh muqayyad berada dalam dua tempat yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyah lafazh mutlaq harus ditangguhkan kepada salah di antara kedua muqayyad di tempat yang berbeda itu. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-maidah ayat 59:
       (٨٩ﺍﻠﻤﺎﺌﺪﺓ) ۚ أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ
Artinya: “maka harus puasa tiga hari”.
Kata “tiga hari” dalam ayat ini merupakan lafazh mutlaq tanpa keterangan. Artinya, tiga hari tersebut boleh berturut-turut dan boleh pula terpisah. Selanjutnya, firman Allah dalam kasus kafarah zhihảr pada surah Al-mujadalah ayat 4:
         (٤ﺍﻠﻤﺠﺎﺪﻠﺔ)  مُتَتَابِعَيْنِ شَهْرَيْنِ فَصِيَامُ
Artinya: “maka harus puasa selama dua bulan berturut-turut”.
Pada ayat ini kewajiban berpuasa dinyatakan dalam bentuk muqayyad yaitu “berturut-turut”. Selanjutnya, firman Allah yang membicarakan dam haji, dalam surah Al-baqarah ayat 196:
        (۱۹۶ ﺍﻠﺑﻘﺮﺓ)  ۗرَجَعْتُمْ إِذَا وَسَبْعَةٍ الْحَجِّ فِي أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ
Artinya: “maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan tujuh hari setelah                                     kembali dari ibadah haji”.
Pada ayat pertama kewajiban puasa dinyatakan secara mutlaq. Lafazh muqayyad-nya bertemu dalam dua tempat dan hukumnya berbeda: yang pertama puasa secara berturut-turut (dalam kasus kafarah zhihảr), dan kedua puasa secara terpisah (dalam kasus dam haji).
Meskipun lafazh muqayyad-nya ada dalam dua tempat yang berbeda, namun bila dibandingkan, ternyata salah satu diantara keduanya lebih tepat untuk dijadikan qayid bagi lafazh mutlaq karena adanya titik kesamaan. Dalam hal ini, kewajiban puasa lebih tepat diberi qayid dengan yang terdapat dalam kasus kafarah zhihảr, yaitu “berturut-turut”, karena lafazh mutlaq dan lafazh muqayyad sama-sama dalam kasus kafarah.[5]
B.     Hukum Lafazh Mutlaq dan Lafazh Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.
1.      Bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati
Berikut adalah bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati oleh para ulama:
a.       Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajbnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.      Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c.       Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.[6]
2.      Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad
Berikut adalah hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad:
a.       Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudhu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam hal ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
b.      Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafi tidak boleh membawa mutlaq kepada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai  dengan sifatnya.[7]
C.    Alasan Masing-Masing Golongan
Berikut ini adalah pendapat dari Ulama Hanafiyah dan Jumhur Ulama:
1.      Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafazh atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh mutlaq tetap pada kemutlakannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan hal ini, lafazh mutlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan).[8]
2.      Alasan Jumhur
Al-Quran merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Quran yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu. (Imam Syafi’i).
Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagi orang diam, yang tidak menyebut qayyid. Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyad sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya qayyid. Di sini tampak jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq.[9]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
ü  Mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang memperesmpit keluasan artinya.
ü  Para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.
ü  Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudhu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam hal ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
ü  Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafi tidak boleh membawa mutlaq kepada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai  dengan sifatnya.
        B.SARAN
                Sebagai manusia yang tidak lepas dari berbagai kekurangan kai sadar makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu mohon bantuan serta kritik dan sarannya agar bisa lebih baik lagi dalam membuat makalah di waktu yang selanjutnya. Untuk kritik dan sarannya kami ucapkan terima kasih.
                                               DAFTAR PUSTAKA
Al-qattan, Khalil, Manna’. 2012. Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa.
Praja, S, Juhaya. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.


[1] Manna’ khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor:Pustaka Litera Antar         Nusa,2012),h.350.
[2] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 212.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 121-122.
[4] Praja, Ilmu……., hal, 212. 
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal, 129-130.
[6] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 213.
[7] Ibid., hal, 213-214.
[8] Ibid.
[9]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,2010) hal, 96-98. 

No comments:

Post a Comment