PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Zakat adalah salah satu dari rukun Islam yang
lima, dan merupakan kewajiban setiap muslim. Dalam masalah zakat banyak sekali
dalil al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan bahwa pada hakekatnya manusia
memiliki kecenderungan mencintai hartanya secara berlebihan, terkadang banyak
yang nampak dalam pandangan manusia hanyalah keuntungan dan kenikmatannya saja,
tanpa memandang aspek kepayahan dan kerugian. Sebagai sumber hukum yang utama,
Al-Qur’an memuat pernyataan yang bersifat global, pernyataan-pernyataan
tersebut belum dijelaskan secara jelas dan pasti.
Kebijakan Islam dalam bidang harta seperti
pensyariatan zakat memiliki makna psiko sosial yang mampu melahirkan sikap
tidak merasa lebih tinggi derajatnya dari orang lain, menumbuhkan persaudaraan
antar sesama, mengurangi kecenderungan cemburu sosial, melahirkan sifat
gotong-royong dan setia kawan. Karena sesungguhnya keberuntungan yang diperoleh
adalah hasil dari interaksi sosial.
Dengan
demikian, ajaran Islam tentang zakat itu memiliki potensi dan aspirasi
perdamaian, ketenteraman, dan kesejahteraan yang berkeadilan sehingga
problematika kemiskinan dan kepincangan sosial akan dapat teratasi jika umat
Islam menerapkan konsep zakat. Problem rendahnya adalah pemahaman dan
pengetahuan masyarakat tentang zakat khususnya masyarakat pedesaan menjadikan
zakat tidak terkelola dengan baik, sehingga tujuan disyariatkannya zakat tidak
tercapai. Praktek penyaluran zakat yang salah sasaran mengakibatkan zakat yang
seharusnya diberikan kepada orang-orang yang berhak, akan jatuh kepada
orang-orang yang menurut hukum islam tidak berhak menerima zakat.
B.Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penulisan dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana deskripsi Problematika yang muncul?
2. Bagaimana deskripsi Terkait dengan persoalan
zakat?
3. Bagaimana
deskripsi Problematika yang muncul terkait dengan persoalan zakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan
Ingin mengetahui deskripsi Problematika yang
muncul terkait dengan persoalan zakat
2. Manfaat Penulisan
a. Secara
teoritis penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
khazanah ilmu pendidikan Islam terutama di bidang Fiqih zakat.
b. Secara
praktis penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam
penulisan karya tulis selanjutnya.
D. Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dan agar pembahasan
lebih mendalam, dalam penulisan makalah ini penulis akan membatasi pembahasan
mengenai “ problematika yang muncul terkait dengan persoalan zakat “.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika yang Muncul
Pengertian Problematika
Problematika berarti “masalah atau persoalan”. Biasanya
problematika selalu di hubungkan dengan persoalan-persoalan yang muncul di
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian menurut saya, problematika disini adalah
suatu masalah atau persoalan yang menimbulkan pendapat-pendapat yang sesuai
akal atau rasio. Perbedaan pendapat dikalangan para ulama mujtahid adalah
merupakan hal yang biasa, untuk itu janganlah kita bertengkar atau berselisih
karena hal tersebut.
B.Terkait dengan Persoalan Zakat
1. PEMBAHASAN TENTANG ZAKAT
a.Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang
ketiga. Zakat ada yang mengartikan “tumbuh dan bertambah”. Juga bisa berarti
jujur, istiqomah, berkah, bersih, suci, subur dan maju.Zakat juga merupakan
shodaqah wajib pada harta dengan syarat-syarat tertentu, diperuntukkan kepada
kelompok tertentu, dan pada waktu tertentu yang diberikan kepada yang berhak
menerimanya.[1]
b. Sejarah Diwajibkanya Zakat
Di dalam Islam, terdapat dua zakat yaitu zakat mal dan zakat an-Nafs
(zakat Fitrah). Adapun Zakat Mal, awal difardhukannya yaitu sebelum rasul
berhijrah ke Madinah atau ketika rasul masih berada di Mekkah. Syara’ hanya menyuruh
untuk mngeluarkan zakat. Dan itu berjalan sampai tahun ke-2 hijriah, dan penerima
zakat ketika itu hanya khusus kepada fakir dan miskin saja.
Pada tahun kedua hijriah (623 M), barulah Syara’ menentukan harta-harta
yang dizakatkan, serta kadarnya masing-masing. Oleh karena itu, ada sebagian
ulama yang menyatakan bahwa zakat difardhukan pada tahun ke-2 hijriah, serta
penerimanya masih 2 golongan saja, yaitu fakir dan miskin.
Sedangkan zakat an-Nafs atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah, itu
mulai di wajibkan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah[2],
ketika Nabi mengumumkan dihadapan para sahabat tentang beberapa kewajiban
Islam. Dan diantara kewajiban itu ialah difardhukannya Zakat Fitrah /zakat
an-Nafs. Dasar hukum diwajibkannya zakat fitrah yakni
dalam surah At-Taubah ayat 103 :
õè{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkÏj.tè?ur$pkÍ5Èe@|¹uröNÎgøn=tæ(¨bÎ)y7s?4qn=|¹Ö`s3yöNçl°;3ª!$#urììÏJyíOÎ=tæÇÊÉÌÈ
Artinya:”Ambilah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’akan
untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah:103).
c.Faedah dan Tujuan Zakat
a. Zakat merupakan ketaatan kepada Allah Swt.
sebelum segala sesuatu,
b. Zakat membantu kaum fakir dan miskin,
c. Zakat mensucikan manusia dari sifat bakhil
dan mengajarkannya sifat derma,
d. Menghilangkan sifat kikir pada pemilik
harta,
e. sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai
keadilan sosial.[3]
d.Harta Yang Wajib Dizakati
1. Emas dan perak ( mata uang ),
2. Barang-barang niaga,
3. Hewan ternak,
4. Biji-bijian dan buah-buahan yang dapat
dijadikan makanan pokok,
5. Barang tambang dan Rikaz.[4]
e.Syarat Wajib Zakat
Syarat-syarat harta yang akan dikeluarkan sebagai
zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Beragama
Islam, harta itu haruslah milik orang yang beragama Islam,
1. Milik
Penuh, yakni harta tersebut merupakan milik penuh individu yang akan
mengeluarkan zakat.
2. Berkembang,
yakni harta tersebut memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
3. Mencapai
nishab, yakni batas minimal harta telah
mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan, yang menentukan
dikenai zakat atau tidaknya. Harta yang tidak mencapai nishab tidak wajib
dizakatkan.
4. Lebih
dari kebutuhan pokok, orang yang berzakat hendaklah kebutuhan minimal/pokok
untuk hidupnya terpenuhi terlebih dahulu
5. Bebas
dari hutang, bila individu memiliki hutang yang bila dikonversikan ke harta
yang dizakatkan mengakibatkan tidak terpenuhinya nishab, dan akan dibayar pada
waktu yang sama maka harta tersebut bebas dari kewajiban zakat.
6. Berlalu
satu tahun ( haul), kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun. Hasil
pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak memiliki syarat haul.
f. Golongan yang Berhak Menerima Zakat
*$yJ¯RÎ)àM»s%y¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pkön=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏBÌ»tóø9$#urÎûurÈ@Î6y«!$#Èûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#(ZpÒÌsùÆÏiB«!$#3ª!$#uríOÎ=tæÒOÅ6ymÇÏÉÈ
60. Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dilunakkan hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Golongan orang yang berhak menerima zakat
Ialah:
1. Orang
fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga
untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3. Pengurus
zakat: orang yang diberi tugas oleh sulthon untuk mengumpulkan dan membagikan
zakat.
4.
Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk
Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan
budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang
kafir.
6. Orang
berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan
tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara
persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya.
7. Pada
jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum
muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu
mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah
sakit dan lain-lain.
8. Orang
yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.
2. MACAM-MACAM ZAKAT
a. ( Zakat Nafs / jiwa) Zakat Fitrah
Adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap
orang Islam mardeka, baligh berakal, budak, baik laki-laki maupun perempuan,
anak kecil maupun dewasa pada bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri. Ketentuan
jumlah yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah tidak berubah-ubah karna sudah
dibatasi hukum syar’i yaitu satu sha’ yakni 2.4 kg atau 2.5 kg [5]
Sesuai dengan hadits Nabi saw :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
زَكَاةَ الْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى
الْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ,
مِنَ الْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى
الصَّلَاةِ رواه البخا ري ومسلم
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah
sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka,
laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan orang Islam.
Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menunaikan shalat
" (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama fuqoha’ sependapat bahwa kewajiban
membayar zakat fitrah mulai terbenam matahari atau malam hari raya atau akhir
bulan Ramadhan. Menurut mazhab Syafi’i pembayaran zakat fitrah dianjurkan tidak
diakhirkan hingga setelah sholat i’d[6].
Imam malik berpendapat zakat fitrah diwajibkan karena terbitnya fajar pada hari
raya idul fitri.[7]
b.Zakat Maal (harta)
Menurut bahasa, harta adalah segala sesuatu
yang diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpanya.Zakat
Mal adalah zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu atau
lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
secara hukum (syara’). Sesuatu dapat dikatakan maal (harta) apabila memenuhi
dua syarat yaitu:
1. dapat
dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai,
2. dapat
diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Contohnya rumah, mobil, ternak dll.
C. Problematika yang Muncul Terkait Persoalan
Zakat
Perlu kita ketahui banyak masalah-masalah yang
muncul terkait dengan persoalan zakat, dikarenakan bentuk-bentuk profesi yang
beraneka ragam di zaman yang modern seperti sekarang ini misalnyaZakat Fitrah
dengan harganya(uang) atau dibayarkan dengan uang dan problematika pada zakat
profesi.
1. Problematika Pada Zakat Fitrah
Di kalangan ulama ahli Fiqih terdapat perbedaan
pendapat mengenai boleh tidaknya mengeluarkan zakat dengan harga (uang) sebagai
dari ganti nilai harga zakat yang harus di keluarkan. Imam Safi’i dan Imam
Maliki berpendapat Tidak boleh mengeluarkan zakat dengan
harganya(uang),sedangkan Imam Hanafi
Boleh boleh saja.
Muncul Perbedaan pendapat mengenai boleh
tidaknya mengeluarkan zakat fitrah
dengan harganya(uang) ini di karenakan adanya perbedaan dalam memahami
pengertian zakat menurut syara’, apakah zakat itu merupakan ibadah seperti
sholat dan puasa atau merupakan suatu hak bagi orang-orang miskin.[8]Bagi
ulama yang memahami bahwa zakat itu merupakan ibadah, maka tidak boleh
mengeluarkannya kecuali sesuai dengan yang di perintahkan oleh Allah dan
Rasulnya. Pendapat ini di anut oleh Imam Safi’i,Maliki,dan Hanbali.
Menurut Imam yang tiga (Safi’i,Maliki,Hanbali),
tidak di perkenankan mengeluarkan zakat dengan harganya(uang) baik zakat fitrah
maupun zakat lainnya.[9]
Imam Ahmad bin Hanbal pernah di tanya tentang
mengeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah. Ia menjawab aku khawatir tidak
di perkenankan,karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW. Di konfirmasikan
kepadanya: ”Bukan orang-orang berkata bahwaUmar bin Abdul Aziz telah mengambil
harga zakat?”. Ia Berkata:”Mereka meninggalkan ucapan Rasulullah Saw. Dan
mengambil pendapat seseorang”, Ibn Umar berkata: Rasulullah SAW telah
mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan, sebanyak satu sha’(2,5 kg) gandum atas tiap-tiap muslim merdeka, hamba
sahayalaki laki atau perempuan.(HR.Bukhari Muslim).dan Allah juga berfirman:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqß§9$#Í<'ré&urÍöDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrãsùn<Î)«!$#ÉAqß§9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#urÌÅzFy$#4y7Ï9ºs×öyzß`|¡ômr&ur¸xÍrù's?ÇÎÒÈ
59. Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Keterangan tersebut menegaskan bahwa Ibnu Umar
berpendapat tidak boleh mengeluarkan zakat dengan harga(uang).Menurutnya,cara
itu di anggap bertentangan dengan sunah Rasulullah SAW.Pendapat ini di pegangi
oleh Imam Malik dan Imam Safi’i. [10]
Dalam hal ini,Ibn Hazm juga berpendapat bahwa
menyerahkan harga (uang) itu sama sekali tidak di perbolehkan, karena hal itu
berbeda dengan apa yang pernah di
wajibkan oleh Rasulullah saw.Adapun ulama yang berpendapat bahwa zakat itu adalah
merupakan hak bagi orang-orang miskin berpendapat bahwa mengeluarkan zakat
fitrah dengan harga(uang) itu boleh boleh saja. Pendapat ini di anut oleh Imam
al Thauri,Imam Abu Hanifah dan ashabnya.Pendapat ini merujuk pada perbuatan
yang pernah di lakukan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Basri.
Abu Shahibah meriwayatkan dari Aun,ia berkata:
“aku telah mendengar surat Umar bin Abdul Aziz yang di bacakan pada Gubernur
Basrah bahwa(zakatnya) di ambil dari pegawai kantor, masing masing setengah
dirham”. Imam Hasan berkata:”Tidak mengapa di keluarkan beberapa dirham untuk
zakat Fitrah”. Abu Ishaq berkata: ”Aku mendapatkan orang-orang membayar zakat
fitrahnya pada bulan Ramadhan beberapa dirham seharga makanannya.
Beberapa alasan yang mendukung pendapat
bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan harga (uang) adalah sebagai berikut:
Pertama,dari Ibn Umar Rasulullah Saw bersabda :
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِوَقَالَ:أَغْنُوهُمْ فِي هَذَا الْيَوْمِ
"Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam mewajibkan zakat fitri
dan bersabda, ‘Cukupkan mereka (fakir miskin) pada hari itu’." (HR.
Daruqutni dan Baihaqi).
Mencukupkan orang miskin pada hari raya itubisa
saja dengan uang atau bisa langsung berupa makanan. Akan tetapi kadang kala
pemberian mereka berupa uang itu bisalebih penting, lebih utama atau lebih
diperlukan. Kalau berupa makanan yang lebih banyak, bisa jadi akan mereka jual
juga, ketika mereka akan butuh yang
lain, tetapi bila yang di berikan pada
mereka itu berupa uang, bisa di gunakan apa saja sesuai dengan apa yang mereka
perlukan, seperti pakaian, peralatan rumah tangga dan lain sebagainya.
Kedua: menurut Ibn Munddhir bahwa kebolehan
mengeluarkan harga(uang) itu sudah di tunjukkan sejak dulu, Yaitu para sahabat
memperbolehkan mengeluarkan setengah sha’ gandum karena dianggap sama nilainya
dengan satu sha’kurma atau satu sha’ sha’ir. Oleh karena itu Muawiyah berkata:
saya melihat bahwa dua mud gandum Syam senilai dengan satu sha’ kurma.
Ketiga: Pemberian dengan harganya (dalam bentuk
uang) itu lebih mudah di zaman kita sekarang ini, terutama di kawasan industri
yang sebagian besar orangnya bermu’amalah dengan uang. Tentang Rasulullah Saw.
dulu mewajibkan zakat fitrah dengan makanan, halitu di mungkinkan karena
beberapa hal :
Pada saat itu bangsa Arab jarang-jarang ada
mata uang, sehingga dengan memberi makanan itu akan lebih memudahkan orang
banyak. Nilai mata uang itu bisa berubah sewaktu waktu dari masa ke masa.
Sehingga bila di tetapkan dalam jumlah uang mungkin akan kesulitan bagi orang
orang sesudah nya di mana nilai mata uang sudah berubah. Hal ini berbeda dengan
penentuan berupa makanan dengan satu sha’ makanan yang secara pasti sudah bisa
mengenyangkan orang. Oleh karena itu wajar bila nabi SAW mewajibkan zakat
fitrah dengan makanan satu sha’ gandum.[11]
Muncul perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknyamengeluarkan
zakat fitrah denagan harga(uang) di karenakan adanya perbedaan dalam memahami
apakah zakat itu merupakan ibadah seperti sholat dan puasa? atau merupakan
suatu hak bagi orang-orang miskin. Mereka juga berpendapat di dalam memahami
maksud nash (teks hadist) dan tujuan pertintah zakat itu sendiri. Bagi ulama
yang berpegang pada nash apa adanya, dimana nabi SAW pernah memerintahkan zakat
fitrah dengan makanan satu sha’ berupa kurma atau sha’ir (HR.Bukhori dan
Muslim), maka pelaksanaanya harus di lakukan dengan menyerahkan makanan tersebut tidak boleh dengan yang lain.
Perintah ini di nilai sebagai perintah yang ta’abudi, harus dilaksanakan sebagaimana
mestinya sebagai ibadah yang tak boleh di tawar-tawar. Pendapat ini di anut
oleh mayoritas ulama seperti Imam Maliki,Safi’i,dan Hanbali.
Sementara Ulama yang lain seperti Imam Hanafi
dan al-Thauri berpendapat bahwa nash hadist tersebut hanya sebagai ukuran
makanan yang mengenyangkan. Sehingga tujuan di perintahkan zakat fitrah itu
sebenarnya lebih mengarah kepada bagaimana agar para fakir miskin itu dapat
kenyang dan terhibur pada suasana hari raya ‘idul Fitri. Oleh karena itu,
pembayaran zakat fitrah tidak harus berupa makanan seperti kurma/shair, gandum
atau makanan pokok yang lain, tetapi apa saja yang bisa membuat fakir miskin
menjadi kenyang dan terhibur. Dalam hal ini menyerahkan zakat fitrah dengan
uang bisa lebih maslahah bagi orang-orang miskin, karena pemanfaatanya bisa
lebih leluasa. Menurut Ali Tantawi, yang menjadi patokan adalah apa yang menjadi
maslahah bagi kaum fakir miskin.
Tentang mana yang lebih utama dalam pembayaran
zakat fitrah,apakah dengan makanan pokok atau uang, Yusuf Qardawi memberikan
pilihan bahwa hal itu tergantung
kemanfaatan bagi fakir miskn. Jika pemberian makanan itu memang
lebih bermanfaat bagi mereka, maka
menyerahkan makanan itu lebih utama,
seperti pada masa paceklik dan kelaparan, dimana pada saat itu susah mencari
bahan makanan,pakaian dan lain-lain maka dengan uang akan lebih utama.
Begitulah pendapat para ulama, ada yang
bertahan pada nash apa adanya, yaitu memandang wajib menyerahkan zakatnya
dengan makanan pokok,tetapi ada juga yang lebih mempertimbangkan aspek makanan
pokok,tetapi ada juga yang lebih mempertimbangkan aspekmanfaat bagi fakir
miskin yang akan menerimanya. Hal ini bisa dibayarkan dengan makanan atau
berupa uang. Oleh karena itu, perbedaan pendapat tersebut janganlah kita
permasalahkan sehingga sampai membuat kita bertengkar atau berselisih, yang
harus kita permasalahkan itu adalah orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa
dalam membayar zakat fitrah sebaiknya dilihat kondisi fakir miskin setempat.
Jika mereka memang lebih membutuhkan makanan, seperti beras dan lain-lainnya
sebagaimana yang tersebut dalam hadits, sebaiknya orang yang berzakat
mengeluarkan zakatnya berupa makanan. Akan tetapi, jika mereka lebih
membutuhkan uang, sebaiknya membayar zakat dengan uang, karena hal tersebut
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sesuai dengan tujuan
diturunkannya syariah.
2. Problematika Pada Zakat Profesi
Ada anggapan bahwa zakat Profesi bertentangan dengan Zakat Maal (Harta).Oleh
karena itu ditinjau dari dalil yang syar’I maka istilah zakat profesi
bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasululloh saw, dimana
antara lain adalah :[12]
1. Penolakan akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat
itu dikeluarkan apabila harta telah berlalu (kita miliki) selama 1 tahun.
Padahal telah datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang haul. Namun hadits-hadits
ini dilemahkan menurut pandangan SyaikhYusuf Qardhawi dengan alasan-alasan yang
lemah (tidak kuat alasan pendha’ifannya). Karena hadits itu memiliki beberapa
jalan dan syawahid.
Oleh karena penolakan ini, maka menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila
seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib
dikeluarkan zakatnya.
2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa
tidak ada haul), maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat
biji-bijian atau pertanian. Zakat biji-bijian atau pertanian dikeluarkan pada
saat setelah panen.
Ada yang beranggapan bahwa hal ini merupakan pengqiyasan yang salah.
Karena qiyas dilakukan karena beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada
dalil yang menerangkan hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan
secara singkat), terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat(dalil-dalil)
yang menjelaskan mengenai haul.
Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian (pertanian),
maka kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum berlaku dalam masalah
panen biji-bijian :
a. Dimana hasil
biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 bulan, berarti zakat profesi juga
semestinya dipungut dengan jangka waktu antara 2-3 bulan, tidak setiap bulan !
b. Dimana hasil
biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka seharusnya zakat profesi juga harus
dikenakan sebesar 5 %, tidak dipungut 2.5 % !
3. Penolakan
dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya petani-petani yang
dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya
hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.
Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya.
Karena dalam masalah ibadah, kita harus mengikuti dalil yang jelas dan shahih.
Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah memiliki hikmah tersendiri
dari hukum-hukum-Nya seperti berfikir dengan akal bahwa “kenapa warisan untuk
wanita lebih rendah?”, “mengapa air seni yang najis hanya disucikan dengan air
bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandijanabah?”,
“mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya sebatas lengan, sedangkan
orang yang muhson (telah menikah) harus dirajam bukannya dipotong alat
kemaluannya?”, dan masih banyak lagi hal yang tidak bisa hanya mengandalkan
akal kita yang terbatas untuk mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Allah Azza wa
Jalla.
Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang berlebihan
dalam menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji 1 Juta, maka 12 bulan gaji 12 Juta.
Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung berapa zakat yang harus
dikeluarkan.Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak
mengetahui masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya berubah.
Atau kita balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya petani, apakah jika
petani membayar zakat, lantas pekerja profesitidak bayar zakat ? Padahal mereka
tetap diwajibkan membayar zakat, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.
4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu
zaman Umar bin Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai
zakat.
Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang
diambil itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni pegawai yang
sudah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu agar mempermudah urusan
zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. Jadi tetap mengacu kepada harta yang
sudah melampaui mencapai nishob dan telah haul 1 tahun saja dari gaji pegawai
tersebut.
Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : “Bagaimana bisa mencapai batas
nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita belanjakan untuk kebutuhan
sehari-hari maupun kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti barang elektronik
dan lain-lain?”
Hukum syar’I tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni zakat
harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu dibelanjakan, dan
sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu belum wajib dikeluarkan zakatnya.
sebagaimana hadis: “Kamu tidak memiliki kewajiban zakat sehingga kamu memiliki
20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul” (Shahih, HR. Abu
Dawud).
Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai
nishab?Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab.
Nasehatnya adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang gaji yang
sedikit, maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh (yang sunnah).
Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi ekonominya
dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang harus dia belanjakan untuk
keluarganya, bila zakat harta itu tidak memperhitungkan kewajiban
nishab.Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan bentuk
shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab tersebut. Tapi
jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak wajib menjadi wajib, karena
ini akan memberatkan kaum musliminsecara umum.
Bila seseorang
itu memiliki harta dia boleh :
1. membelanjakan
dijalan yang halal untuk keluarganya,
2. atau
Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya mudharabah dll)
3. atau
Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya
4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi
syarat-syaratnya, agar kemudian bisa dikeluarkan zakatnya
5. atau dia
shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya).
Fatwa-fatwa
Seputar Permasalahan Zakat Profesi
Berkaitan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji
diterima atau ketika sudah berlangsung haul(satu tahun) ?Jawab : Bukanlah hal
yg meragukan, bahwa diantara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata
uang (emas dan perak). Dan diantara syaratwajibnya zakat pada jenis-jenis harta
semacam itu, ialah bila sudahsempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang
diperoleh darigaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu
sendiriataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudahmemenuhi
haul, maka wajib untuk dizakatkan.
Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebab persyaratan
haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uangmerupakan
persyaratan yg sudah jelas berdasarkan nash. Apabila sudahada nash, maka tidak
ada lagi qiyas. Berdasarkan itu, makatidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji
pegawai sebelum memenuhi haul.
Apabila seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yg mendapat gaji
bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain.Kemudian
dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadangmenghabiskan gaji
bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnyakadang masih tersisa sedikit
yg tersimpan untuk keperluan mendadak(tak terduga). Bagaimana cara orang ini
membayarkan zakatnya ?
Jawab : Seorang
muslim yg dapat terkumpul padannya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun
dari sumber lain, bisa berzakat selama sudahmemenuhi haul, bila uang yang
terkumpul padanya mencapai nishab. Baik(jumlah nishab tersebut berasal) dari
gaji itu sendiri, ataupunketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan
barang dagangan miliknyayang wajib dizakati.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakat barang
tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak, sedangkan tanaman yang
wajib zakat adalah gandum, sya’ir, kurma, dan zabib, dan tidak ada satupun
Riwayat dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bahwa harta penghasilan
adalah harta wajib zakat. Jadi tidak ada dalil yang menerangkannya. Hitunglah
berapa penghasilan kita dalam satu tahun lantas dikurangi pengeluaran itulah
harta yang tersisa dalam dalam satu tahun, bandingkan dengan nishab emas 85
gram, bila sama atau melebihinya maka wajib zakat, jika tidak maka tidak perlu
zakat, namun dengan bershadaqah juga dapat membersihkan harta. Wallahu a’lam.
BABIII
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Problematika adalah suatu masalah atau
persoalan yang menimbulkan pendapat-pendapat yang sesuai akal atau rasio.Zakat
adalah salah satu rukun Islam yang kelima. Zakat ada yang mengartikan “tumbuh
dan bertambah”. Juga bisa berarti berkah, bersih, suci, subur dan berkembang
maju, digunakan kata ‘tazakki dengan arti menyucikan dan dapat berarti
menyuburkan dan mengembangkan karena mendapat barokah dari Allah. Zakat
merupakan shodaqah wajib pada harta dengan syarat-syarat tertentu,
diperuntukkan kepada kelompok tertentu, dan pada waktu tertentu.
Muncul Perbedaan pendapat mengenai boleh
tidaknya mengeluarkan zakat fitrah
dengan harganya (uang) ini di karenakan adanya perbedaan dalam memahami apakah
zakat itu merupakan ibadah atau merupakan suatu hak bagi orang orang miskin.
Menurut pendapat Imam Safi’i dan Imam Maliki Tidak boleh mengeluarkan zakat
dengan harganya(uang),sedangkan Imam Hanafi boleh boleh saja.Perbedaan pendapat
dikalangan ulama fuqoha’ merupakan hal yang biasa, untuk itu jangan sampai kita
umat Islam berkelahi dengan hal demikian.
B. SARAN
Bahwa zakat adalah merupakan kewajiban bagi
setiap orang muslim untuk wajib dikeluarkan, dengan mengeluarkan zakat ini
dapat mensucikan diri kita dari hal-hal yang tidak baik yang terjadi pada diri
kita,. Tapi banyak banyak perbedaan di kalangan para ulama mengenai boleh
tidaknya mengeluarkan zakat dengan uang. Mengenai perbedaan ini sudah kami
bahas dan kami jelaskan di makalah ini. Kami menyadari dalam makalah kami ini
masih banyak kekurangan dan kesalahan dan kami berharap bahwa makalah ini untuk
ada yang melanjutkan dan membahasnya kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi Yusuf. ( 2002 ). Fatwa fatwa
Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press.
Az-Zuhaili Wahbah. ( 2011 ). Fiqih Islami Wa
Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani.
Sabiq Sayyid. ( 2009 ). Fiqih Sunnah.
Jakarta Pusat : P.T. Pena Pundi Aksara.
Hertina. ( 2013 ). Problematika Zakat
Profesi dalam Produk Hukum di Indonesia. Pekanbaru : Suska Press.
Ibnu Qudamah. ( 1987 ). AlMughni,vol.4.
Kairo :Hajr.
Sulaiman Rasjid, ( 1994 ). Fiqh Islam.
Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Ma’mun Mansyur,dkk. ( 2006 ).Pelaporan Zakat
Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta : Rajawali Pers.
Moh. Rifa’i. ( 1978 ). Ilmu Fiqih Islam.
Semarang : cv. Toha Putra.
Ibnu Rusyd. ( 1990 ). Bidayatul
Mujtahid.Semarang : cv. Asy-Syifa’.
[1]Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 192.
[2]Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah ( Jakarta : P.T. Pena Pundi Aksara, 2009 ), hlm. 159
[3]
Mansyur Ma’mun,dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan,(
Jakarta : Rajawali Pers,2006), hlm. 15.
[4]
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam ( Semarang : cv. Toha Putra, 1978 ), hlm. 349.
[5]Yusuf
al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer ( Jakarta : Gema Insani, 1995 ),
hlm. 433.
[6]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu ( Jakarta : Gema Insani, 2011 ),
hlm. 351.
[7]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (
Semarang : cv. Asy-Syifa’, 1990 ), hlm. 583.
[8]
Ibid.,
[9]Yusuf
Qardhawi,Fiqh al zakah dirasah Muqaranah Li ahkamiha wafalsafatiha fi Dau’i
Al Qur’an wa al sunah,vol.2 (Bayrut : Muassasah al Risalah,1991),hal.948.
[10]Ibnu Qudamah,Al-Mughni,vol.4(Kairo : Hajr,1987),
hal.295.
[11] Al-Qardhawi,Fiqih
alzakah,vol.2 hal.494.
[12]
Hertina, Problematika Zakat Profesi dalam Produk Hukum di Indonesia, pekanbaru suska press. Hlm. 55
No comments:
Post a Comment