Wednesday, 20 June 2018

Fisabilillah Sebagai Mustahiq Zakat

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Zakat adalah salah satu yang menjadi perbincangan hangat untuk selalu ditelaah dan difahami secara konseptual dan dinamis.Masalah zakat sering disebutkan secara beriringan dan berurutan perintahnya dengan Shalat.Karena zakat tidak hanya berfungsi sebagai ibadah mahzahsemata atau ta`abbudi (dogmatis) melainkan juga berkenaan dengan harta dan socialkemasyarakatan (ibadah maliyah ijtima`iyah)[1] atau ta`aquli (rasional).Zakat memiliki peran sangat penting, strategis dan menentukan bagi moral dan pengembangan ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Salah satu yang sangat urgen dan mengemuka dalam persoalan zakat adalah perihal mustahik zakat di samping harta benda yang wajib dizakatkan. Nash-nash normatif yang melandasi konsep teoritik mengenai kelompok mustahik zakat (penerima zakat) telah membatasi para mustahik zakat dengan kelompok yang terbatas, namun tidak menyebutkan secara rinci siapa-siapa dan kerteria yang berada di dalam kelompok tersebut serta sistem pendistribusiannya, sebagaimana firman Allah SWT Q.S. at-Taubah (09):60:
                                                                                                 
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya:"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Ayat di atas menggunakan kata "innama" sebagai huruf hasr (pembatasan),  makna zahir yang dikehendaki adalah membatasi mustahik  zakat sehingga orang-orang yang tidak termasuk dalam kategori ini tidak berhak menerima zakat. Dalam konteks nasnya sebagaimana terlihat pada munasabat li al- ayat-nya, bahwa banyak orang-orang yang kuat dan punya harta datang kepada Nabi SAW untuk meminta bagian dari zakat karena hawa nafsu mereka yang tak terbatas dan lupa apa yang yang telah mereka miliki, lalu turunlah ayat tersebut untuk menentukan mustahik zakat hanya delapan golongan (senif) saja.[2]
Sebagaimana halnya kasus yang terjadi pada sahabat Nabi SAW yaitu Umar Ibnu al-Khattab pernah menolak pemberian zakat kepada para mu`allaf di masa pemerintahan Abu Bakar dan di masa pemerintahannya.Adakah dalam hal ini, Umar menyalahi hukum yang telah ditetapkan al-Qur`an, bahkan dikuatkan dengan tindakan Rasulullah SAW, dan para sahabat sepakat dengan pendapat Umar.Karena pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar tidak dijumpai lagi orang-orang yang layak disebut "muallafat al-Qulubuhum".Dan Islam juga telah kuat dan jaya.
Al-Qur`an telah menggambarkan secara umum tanpa batasan mengenai sasaran dan pendistribusian zakat kepada asnaf delapan terutama senif yang ketujuh dengan firman-Nya "Di jalan Allah". Apa yang dimaksud dengan sasaran ini, dan siapa yang tergolong dalam satuan-satuannya. Batasan makna  sabilillah secara khusus sebagaimana telah diformulasikan oleh para imam mazhab, namun hanya berorientasi bagi mereka yang berjuang di jalan Allah dengan jalan berperang (ghazwah atau al-qital) yaitu melawan orang-orang kafir yang menganggu ketentraman dan kedaulatan umat Islam. Dan itu sangat mungkin serta sesuai dengan kondisi masa itu.
Namun dalam konteks kekinian batasan makna tersebut harus diperbaharui atau diperluas dengan makna yang lebih umum dan luas cakupannya (muthlaq dankomperensif).Ibnu Atsir menyatakan, bahwa sabil makna aslinya adalah al-thariq (jalan). Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat, dan berbagai macam kebaikan lainnya.
Selanjutnya memperhatikan kepada kondisi umat yang tertinggal, baik sisi perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, maka untuk merekonstrusi kembali makna fisabilillah sebagai salah satu asnaf mustahiq zakat, diperlukan pemahaman yang lebih luas untuk diberi hak zakat kepada kelompok ini. Menurut Safwan Idris,[3]penggunaan zakat di era modern sangat relevan dengan kebutuhan umat untuk mengejar ketinggalannya. Ia memandang, di zaman ini ditemukan beberapa misi yang dibangun kelompok misionaris dan kelompok munafiqin untuk menghancurkan dan mengobok-obok Islam dan perekonomiannya. Pendistribusian zakat pada bidang ini akan dapat memberikan ketahanan umat yang lebih besar dan sangat bermakna.
Untuk menjawab sebuah permasalahan di atas, salah seorang pemikir dan pakar fiqih modern, Yusuf Qardhawi, (untuk selanjutnya di singkat Qardhawi) telah memberikan penafsiran yang lebih luas terhadap makna senif fisabilillah dalam ayat zakat dengan menyesuaikan kondisi umat Islam sekarang ini. Sehingga dari hasil analisa dan dalil-dalil yang digunakannya ditemukan terjadinya perluasan cakupan makna sabilillah melebihi makna yang pernah dikembangkan oleh para imam mazhab, dan sedikit berbeda maknanya dengan pemikiran para ulama kontemporer lainnya seperti, Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut.
Yusuf Qardhawi memberikan penafsiran fisabilillah yang lebih luas dari makna imam mazhab, dan sedikit lebih sempit maknanya, sehingga berbeda dari pendapat ulama modern lainnya.Qardhawi mengartikan fisabilillah dengan jihad, sebagaimana yang diartikan mazhab.Akan tetapi jihad yang dimaksudnya adalah jihad dalam bentuk tulisan, lisan, pemikiran, pendidikan, sosial, budaya serta politik yang kesemuanya itu digunakan untuk keagungan dan kemegahan Islam.
Berdasarkan uraian pokok yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan tiga permasalahan, yaitu: pertama, metode penalaran apa saja yang digunakan oleh Yusuf Qardhawi dalam menginterpretasi dan memperluas cakupan makna fisabilillah?.Kedua, apa alasan dan dalil-dalil yang digunakan Qardhawi untuk menetapkan  dan memperluas cakupan makna fisabilillah?. Ketiga, magaimana pola penyelesaiannya bila dilihat dari segi filosofi atau maqasid al-syari`ah fisabilillah?.
BAB II
PEMAHAMAN TENTANG FISABILILLAH SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

A. Defenisi fisabilillah
ان المعنى اللغوى الاصلى للكلمة واضح فالسبيل هوالطريق وسبيل الله هوالطريق الموصول الى مرضاته افتقادا و عملا
Artinya :“ Makna menurut bahasa asli bagi kalimat yang jelas. Maka   kata”sabil” yaitu jalan. Dan”sabilillah” yaitu jalan untuk sampainya kepada keridhaan Allah SWT baik berupa praktek maupun amalan “[4]

Adapun pendapat lainnya tentang makna fisabilillah ini adalah pendapat Alamah Ibnu Atsir sebagai berikut :
قال العلا مة ابن الا ثير : السبيل فى الاصلى الطر يق و ( سبيل الله)عام, يقع علي كل عمل خالص سلك به طريق التقرب الي الله عز و جل بأداء الفراءض و النوافل و انواع التطوعات
Artinya : “ Berkata Alamah Ibnu Atsir. ‘kata sabil’menurut asli yaitu jalan dan kata ‘sabilillah’menurut umum yaitu terjadi atas tiap amalan ikhlas yang mengikut dengannya jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wajalla dengan do’a yang wajib dan sunat dan macam-macam ketaatan

Dari defenisi di atas makna fisabilillah (pada jalan Allah) ini menurut arti bahasanya secara umum, yang meliputi semua jalan yang dapat menyampaikan kepada keridhaan Allah. Dengan demikian fisabilillah meliputi semua amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan segala macam kebaikan
Alamah Ibnu Atsir juga menjelaskan tentang penafsiran kalimat ’fisabilillah’ sebagai berikut :
١. المعنى الأصلى للكلمة لغة هو كل عمل خالص سلك به طريق التقرب الى الله فهو يشمل جميع الأعمال الصالحة, فردية كانت او جماعية
٢. المعنى الغالبى للكلمة والذى يفهم منها على الاطلاق هو الجهاد
Artinya :1. Makna asli bagi kalimat “fisabilillah” menurut bahasa yaitu setiap amalan ikhlas yang mengikut jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dianya mencakup seluruh amalan shaleh, baik itu pribadi maupun kemasyarakatan
2. Makna secara umum bagi kalimat ”fisabilillah” dan yang dipahami darinya secara mutlak yaitu jihad.
Dalam fathul mu’in ‘fisabilillah’adalah:
سبيل الله هو القاءم بالجهاد متطوعا ولو غنيا و يعطى الجاهد النفقة والكسوة له ولعياله ذهبا و إيابا وثمن آلة الحرب
Artinya : “fisabilillah yaitu pejuang agama sukarelawan sekalipun kaya dan pejuang diberi bagian sebagai nafkahnya, pakaianya dan juga untuk keluarganya selama masih pergi dan pulang, demikian pula diberi biaya alat peperangan atau perjuangan.”

B. Tinjauan Fisabilillah Menurut Fuqaha’
   Dalam hal ini makna fisabilillah ada beberapa pendapat yang menjelaskannya diantaranya:
1. Mazhab Hanafiyah
فعلماء المذهب الحنفي وان اختلفوا في تعيين المراد بسبيل الله, مجموعون على ان الفقر و الحاجة شرط لازم لاستحقاق كل من يعتبر فى سبيل الله, سواء كان غازيا ام حاجا, ام طلب علم ام ساعيا فى سبيل الخيرات
Artinya : “Ulama mazhab Hanafi bahwa mereka berbeda pendapat pada penjelasan maksud fisabilillah, sepakat mereka atas bahwa fakir dan orang-orang yang membutuhkan syarat yang lazim untuk mencari kebenaran tiap-tiap dari pandangan pada maksud fisabilillah, bersamaan ada perang, haji, menuntut ilmu, atau berusaha pada jalan kebaikan.
Sarakhshi menyebutkan, dalam mazhab Hanafi ditemukan beberapa pengertian arti kata sabilillah, yaitu: "pejuang yang fakir" dan "Orang-orang fakir yang melaksanakan haji, lalu putus belanjanya". Sarakhshi menambahkan bahwa pengertian yang pertama dinisbahkan kepada Abu Yusuf, dan yang kedua pendapat Muhammad al-Syaibani.[5]
Dari dua pengertian di atas, Ibnu `Abidin menilai bahwa yang pertama lebih kuat maknanya. Pengertian ini menurutnya tidak semua pejuang menjadi senif zakat ini, akan tetapi pejuang yang dimaksud adalah pejuang yang lemah (`ajuz) pendapatan dalam perjuangannya. Karena dalam perjuangan kebinasaan atau cedera baik menimpa pada benda (bekal makanan) atau binatang (dabbah) sering terjadi.Oleh karena itu kepada mereka diberikan zakat agar dapat memenuhi kebutuhannya yang membantu mereka dalam perjuangan.
Berbeda dengan yang dikemukakan Sarakhshi, dalam al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ahdidapatkan pengertian lain yang dianggap pendapat mazhab ini, yaitu para penuntut ilmu dan segala kebaikan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah.[6] Namun argumentasi ulama yang mengartikan pengertian ini tidak diungkapkan.Oleh karena itu pengertian yang dua terakhir (pelaksana haji dan penuntut ilmu) dianggap popular dalam mazhab Hanafi.
Selanjutnya, al-Syaibani mengatakan bahwa haji merupakan bagian dari fisabilillah.Korelasi haji dengan fisabilillah adalah sama-sama memenuhi panggilan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta memerangi hawa nafsu yang merupakan musuh Allah. Alasan yang dikemukakan al-Syaibani nampaknya tidak rajah untuk membatasi cakupan makna fisabilillah, karena hal itu dapat diterapkan pada amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, tidak hanya pada ibadah haji.Dengan demikian makna sabilillah menurut mazhab Hanafi adalah pejuang fakir yang terjun dalam peperangan.Mereka diberi harta zakat agar dapat membantu keperluan yang dibutuhkan dalam perjuangan.Maka pejuang yang kaya harta tidak diberikan zakat karena telah dicukupkan dengan sendiri.

2. Mazhab Malikiyah
١. انهم متفقون على ان (سبيل الله) يتعلق بالغزوة و الجهاد وما فى معناه كالرباط
٢. انهم يرون إعطاء المهاجر والمرابط ولو كان غنيا
٣. ان جمهورهم يجيزون الصرف فى مصالح الجهاد كالسلاح والخيل والاسوار والسفن الحرية و نهوها
1. Bahwa mereka sepakat tentang maksud ‘fisabilillah’ dikaitkan dengan perang, jihad, dan apa pada maknanya seperti ikatan.
2. Bahwa mereka berpendapat anggota jihad dan yang terkait sekalipun mereka kaya
3. Bahwa kebanyakan mereka membolehkan memalingkan kepada kemaslahatan jihad seperti pembelian senjata, kuda, membangun bebteng, kapal perang dan seumpamanya.
Menurut al-Qurtubi, salah seorang mufassir yang beraliran Malikiyah, pengertian fisabilillah dalam mazhab Maliki adalah: "fisabilillah adalah pejuang yang memiliki ikatan, diberikan untuk menjadi kebutuhan mereka dalam peperangan baik keadaan mereka kaya atau miskin."[7]Pengertian fisabilillah yang diberikan Malikiyah menunjukkan bahwa tidak membedakan kaya dan miskin.Semua pejuang yang terjun dalam peperangan mendapat jatah harta zakat.Pemberian ini hanya disebabkan karena terlibat dalam peperangan bukan lainnya.
Menurut al-Dasuqi dalam karyanya Hasyiyah al-Dasuqi, pejuang dengan lafadh "al-jihad" hanya diberi zakat bila memiliki persyaratan : muslim, laki-laki, baligh, dan berkemampuan untuk berjuang. Sementara pejuang non muslim, misalnya ahli zimmah, pejuang perempuan, pejuang anak-anak dan tidak ada kemampuan untuk berjuang tidak termasuk dalam kategori fisabilillah menurut mazhab ini
.
3. Mazhab Syafe’iyah
مذهب الشافعية, ان (سبيل الله) كما فى المنهاج للنواوى وشرحه لأبن حجر الهيشمى هم الغزاة التطوعون الذين لا يتقاضون راتبا من الحكومة
Artinya : “Mazhab syafe’iyah bahwa kata ‘fisabilillah’ sebagaimana pada penjelasan Nawawi dan menguraikan Ibnu Hajar Haisyami yaitu mereka yang berperang karna ketaatan mereka yang tidak mengharapkan gaji dari pemerintah.
سبيل الله وضعا : الطريق الموصولة اليه تعلى- ثم كثر استعماله فى الجهاد لأنه سبب الشهادة الموصوله الى الله تعلى
Artinya :“sabilillah”secara pasti adalah jalan untuk sampainya kepada Allah SWT, yang kebanyakan cangkupannya itu pada jihad, karna sebab kesaksian sampai kepada Allah SWT.
Al-Nawawi menyebutkan dalam al-Majmu` bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah adalah pejuang di medan perang: "Mereka adalah orang-orang yang berperang dengan suka rela sedang mereka tidak memperoleh hak ketenteraan muslim dari negara. Karena itu mereka tidak diberi zakat dari bagian orang yang berperang, sebab memperoleh rezki dari harta rampasan perang."[8] Senada dengan ini, Zainuddin Malibari dari kalangan Syafi`iyah dalam kitabnya Fath al-Mu`inmenyebutkan definisi fisabilillah yaitu: "Pejuang agama sukarelawan sekalipun kaya; maka pejuang diberi bagian sebagai nafkahnya, pakaiannya dan juga untuk keluarganya selama masa pergi dan pulang, demikian pula diberi biaya alat peperangan".[9]
Secara literal fisabilillah bermakna jalan (tariqat) yang menyampaikan kepada Allah, baik dengan cara berperang ataupun kegiatan lain yang bernilai ibadah kepada-Nya. Namun `uruf menggunakan kata itu pada makna pejuang (mujahid).Makna ini kemudian dijadikan sebagai maksud syara`.Maka berdasar makna itulah dipahami bahwa yang dimaksud fisabilillah adalah pejuang peperangan.Fisabilillah adalah para pejuang suka rela yang turun dalam perjuangan membela agama.Mereka bukan tentera yang diangkat oleh penguasa.Oleh karena itu hak ketentaraan yang dianggarkan negara tidak didapatkannya.Perjuangan mereka dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak terikat dengan aturan berkelompok.Bila keadaan sehat dan kuat, perjuangan terus dilakukan. Sebaliknya mereka akan kembali menjadi masyarakat biasa, bekerja seperti biasa, di kala keadaan tidak mampu berjuang.[10]
Selanjutnya Ibnu hajar berkata bahwa fisabilillah itu sebenarnya jalan yang menyampaikan seseorang kepada ridha Allah, kemudian kata ini sering dipergunakan untuk jihad, karena merupakan sebab yang jelas yang akan menyampaikan seseorang pada Allah, mereka berperang bukan karena mengharapkan imbalan sesuatu sehingga mereka itu lebih utama daripada lainnya. Mereka harus diberi sesuatu yang dapat membantunya dalam peperangan walaupun keadaan mereka itu kaya.[11]
Imam Syafi`i mengatakan dalam al-Umm, bahwa diberikan dari bagian fisabilillah orang yang berperang dari dekat dengan harta yang dikeluarkan zakatnya, fakir ia atau kaya. Dan jangan diberikan yang lain dari orang tersebut, kecuali memberi kepada orang yang menghalangi dan mempertahankan diri dari orang-orang musyrik. Imam al-Syafi`i mensyaratkan orang yang dekat dengan harta zakat, karena menurutnya tidak boleh memindahkan zakat ketempat lain di mana harta itu berada. Ia berkata: "Zakat yang diambil dari suatu kaum hendaknya dibagikan kepada orang yang berhak yang hidup sekampung dengan mereka, kecuali jika tidak ada seorang pun yang berhak menerima zakat.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab Syafi`i sejalan dengan mazhab Maliki dalam mengkhususkan sasaran zakat pada fisabilillah, dan membolehkan memberi mujahid yang dapat menolongnya dalam berjihad, walaupun kaya, serta boleh menyerahkan zakat untuk memenuhi yang mutlak diperlukan, seperti senjata dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi dalam hal ini mazhab Syafi`i berbeda pendapat dengan mazhab Maliki yaitu: mereka mensyaratkan pejuang sukarelawan itu tidak mendapat bagian atau gaji yang dianggarkan oleh negara.
4. Mazhab Hambali
مذهب الحنابلة كمذهب الشافعية ان المراد بسبيل الله هو الغزاة المتطوعة الذين ليس لهم راتب او لهم دون ما يكفيهم, يعطى الجاهد منهم ما يكفيه لغزوة, ولو كان غنيا
Artinya : “Mazhab Hambali sama dengan mazhab Syafe’i bahwa yang dimaksud fisabilillah adalah perang, orang yang berperang karna ketaatannya yang tidak ada bagi mereka gaji atau bagian yang tidak mencukupi untuk perang, maka orang yang jihad tersebut diberi bagian untuk mencukupi alat perangnya, sekalipun mereka kaya.
Pandangan Hanabilah terhadap sabilillah banyak persamaan dengan yang dikemukakan Syafi`iyah, tetapi mereka menambahkan bahwa cakupan yang dikehendaki dari pengertian fisabilillah lebih luas.Menurut mereka penjaga benteng pertahanan juga dinamakan bagian perang walaupun tidak ada penyerangan, juru rawat, tukang masak, dan lainnya yang berhubungan dengan peperangan.[12] Dalam penggunaan dalil, Hanabilah menggunakan nas al-Qur`an seperti pegangan Syafi`iyyah.
Perbedaan lain antara dua mazhab itu adalah pada pelaksana haji. Namun, pandangan ini diperselisihkan mereka.Ibnu Qudamah mengatakan haji tidak termasuk dalam fisabilillah, karena haji seseorang miskin tidak memberi manfaat bagi umum. Apabila haji dilaksanakan dengan harta zakat, kegunaan hanya terbatas pada diri pelaku an sich. Sedangkan fisabilillah dikehendaki manfaat kolektif. 
Sedangkan Hanabilah yang lain menganggap haji termasuk dalam fisabilillah. Maka orang fakir dan miskin yang berkeinginan melaksanakan haji dapat dibantu dengan harta zakat.mereka menjadikan hadits Abu Daud sebagai argumentasi. Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang dikemukakan Ibnu Qudamah dianggap lebih kuat dalam mazhab ini.Arti pejuang perang itu merupakan makna yang dikehendaki oleh ungkapan (itlaq) dan banyak ayat yang menggunakan lafadh sabil dianggap menunjuki demikian. Jadi makna yang dipandang mereka sama dengan yang diberikan Syafi`iyah.
Dan penjelasan beberapa pendapat para ulama diatas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah disini adalah seluruh amalan ikhlas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, yaitu berupa perang atau jihad.
Jika kita lihat perluasan makna ”fisabilillah” sekarang ini ia bukan hanya diartikan sebatas perang mengangkat senjata saja, melainkan fisabilillah meliputi seluruh bentuk ketaatan, kebaikan dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah), sebab jihad adakalanya tidak saja dilakukan dengan pedang atau senjata, melainkan juga dengan tulisan(pena), lisan, pikiran, pendidikan, kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dengan kata lain semua jihad yang dimaksudkan di sini untuk menegakkan dan menjunjung tinggi kalimat Allah.
Sebagian amalan dan aktifitas kita adakalanya bersifat kondisional.Di suatu negara tertentu, pada waktu tertentu, dan kondisi tertentu mungkin suatu amal bisa bernilai jihad fisabilillah. Sementara di negara lain atau pada waktu lain dan kondisi lain pula, ia tidak bernilai jihad fisabilillah.
Mendirikan sekolah dalam kondisi biasa merupakan amal shaleh dan usaha yang patut disyukuri serta dipuji, oleh islam tidak dianggap jihad. Misalnya di suatu wilayah(yang penduduknya antara beragama islam), belum ada lembaga pendidikan yang bernaung dibawah kekuasaan kaum komunis, atau kaum sekuler. Dalam kondisi ini mendirikan sekolah islam merupakan jihad yang paling besar.
Bukan hanya mendirikan sekolah, mendirikan perpustakaan islam sebagai antisipasi terhadap perpustakaan yang merusak umat merupakan jihad terpenting. Mendirikan rumah-rumah sakit islam untuk melayani kebutuhan medis kaum muslim dan dapat menyelamatkan mereka dari sasaran kristenisasi yang dapat menyesatkan atau menghadapi organisasi-organisasi intelektual dan peradaban yang sangat membahayakan. Membebaskan negeri islam dari kekerasan kaum kafir, juga termasuk fisabilillah. Tidak diragukan lagi bahwa, jihad dalam makna inin sangat tepat untuk zaman sekarang.
“Adapun kata fisabilillah yang dipahami oleh mayoritas ulama, dalam arti para pejuang yang terlibat dalam peperangan baik keterlibatannya langsung maupun tidak.Termasuk juga di dalamnya pembelian senjata, pembangunan benteng, kapal peperangan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman.”[13]
Kini sekian banyak ulama kontemporer memasukkan kelompok ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan, maupun organisasi islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, mesjid, rumah sakit, dan lain-lain. Dengan alasan kata fisabilillah dari segi kebahasan mencakup segala aktiftas yang mengantar menuju jalan dari keridhaan Allah. Syarat mutlak bagi seluruhnya adalah bahwa fisabilillah dalam arti untuk membela islam dan meninggikan kalimatnya di muka bumi ini.
Satu hal lagi yang termasuk dalam kategori fisabilillah adalah membangun pusat-pusat dakwah, pusat-pusat islam (Islamic Centre) untuk mendidik dan memelihara remaja-remaja islam serta mengarahkannya dengan arahan yang sehat, memelihara mereka dari kekafiran akidah, dari penyimpangan-penyimpangan pikiran, dan penyimpangan tingkah laku, juga kategori fisabilillah.
Berusaha mengembalikan hukum islam, lebih penting dari pada jihad(perang)karena bertujuan menjaga hukum islam dari campur tangan orang – orang kafir, menyebarkan dakwah islam, dan membela islam dengan lisan atau tulisan. Jika hal tersebut tidak memungkinkan dengan melakukan pembelaan dengan pedang dan semangat.
Pada masa sekarang ini, boleh jadi serangan terhadap islam dalam bidang pemikiran dan kejiwaan lebih berbahaya, dan lebih berdampak buruk dari pada serangan meliter, sehingga pada masa dahulu ulama hanya membatasi pengertian fisabilillah dan hal mereka yang menjaga dan mempertahankan perbatasan, atau mempersiapkan tentara untuk menyerang musuh, pembelian senjata dan alat- alat perang. Maka dalam hal ini perlu ditambahkan dalam bentuk lain, pertahanan, persiapan penyerangan, antara lain dalam bidang pemikiran dan dakwah.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari ulasan dan uraian di atas ada dua kesimpulan, yaitu:
1.         Ulama Mazhab memaknai fisabilillah adalah: pertama, Mazhab Hanafi memahami fisabilillah adalah para pejuang perang yang miskin. Pejuang yang kaya dan haji yang yang putus belanjanya tidak diberikan hak zakat sabilillah. Dalam suatu riwayat haji yang putus belanjanya diberi hak zakat. Kedua, mazhab Maliki, sabilillah adalah semua mereka yang berperang baik kaya atau miskin. Baik telah mendapat gaji dari negara melalui harta ghanimah atau tidak. Haji yang putus belanjanya tidak mendapat jatah fisabilillah. Ketiga, mazhab Syafi`i mengemuakan bahwa fisabilillah adalah para pejuang yang miskin maupun yang kaya dan tidak mendapat jatah harta ghanimah dari negara. Perjuangan mereka dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak terikat dengan aturan berkelompok. Bila keadaan sehat dan kuat, perjuangan terus dilakukan. Sebaliknya mereka akan kembali menjadi masyarakat biasa, bekerja seperti biasa, di kala keadaan tidak mampu berjuang. Keempat, mazhab Hanbali menyebutkan bahwa fisabilillah adalah para pejuang miskin dan kaya. Mencakup juga mereka yang menjaga benteng pertahanan Menurutnya penjaga benteng pertahanan juga dinamakan bagian perang walaupun tidak ada penyerangan, juru rawat, tukang masak, dan lainnya yang berhubungan dengan peperangan.
2.         Menurut ulama kontemporer, makna fisabilillah adalah: pertama, Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut dan beberapa ulama kontemporer lainnya menggunakan kata sabilillah menurut arti bahasa secara umum, yang meliputi semua jalan (al-subul) yang menyampaikan kepada  keridhaan Allah. Dengan demikian ia meliputi semua amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan semua macama kebaikandan balasan dari Allah. Kemaslahatan umum kaum muslimin, yang dengannya tegak urusan agama dan pemerintahan, bukan kepentingan pribadi. Mendirikan rumah sakit tentara, membuat jalan dan memperbaikinya dan sebagainya termasuk dalam area fisabilillah. Kedua, Qaradawi berpendapat fisabilillah bermakna khusus, yakni jihad. Menurutnya bahwa jihad itu adalah melaksanakan segala usaha yang berhubungan dengan kejayaan Islam. Kejayaan Islam di zaman sekarang tidak hanya di lihat pada segi hukum semata, akan tetapi keutuhan umat dalam menjalankan kehidupan sesuai dengan Islam harus diperjuangkan. Menurutnya bahwa para ulama yang memperluas arti fisabilillah yang membuka banyak segi yang tidak dapat dihitung jenis dan golongannya, bertentangan dengan maksud dari ayat yang membatasi pembagian uang zakat itu untuk delapan bagian yang telah disebutkan dalam kitab suci al-Qur`an. Sebagaimana arti sabilillah termasuk pemberian kepada kaum fakir miskin. Qaradawi memandang arti sabilillah jangan diperluas, sehingga akan meliputi segala masalah yang baik, dan jangan dipersempit pada masalah-masalah yang ada hubungannya dengan jihad atau perang. Sebab jihad itu luas sekali mencakup berbagai bidang. Jihad dengan pena, lisan, jihad dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, atau social.















DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat, Terj. Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal. 610..

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an, vol. V. (Jakarta: Lentera hati, 2009), hal. 146
           
Syam al-Din al- Sarakhshi, al-Mabsuth, Juz.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 10

Ibnu al-`Abidin, Radd al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Absar, Juz.III, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyah, 1994), hal.343.
Abd al-Hafiz al-Farghaly, al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ah, Juz. III, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, t.t), hal. 387.
Abu `Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, juz. VII. (Qahirah: dar al- Kitab al-`Arabi, 1962), hal. 180.
Al-Nawawi, Kitab al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Jilid. VI. (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt), hal. 180.
Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Muin, juz.  II. (Indonesia: Toha Putra Semarang, tt), hal. 193.

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam V. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoever, 1996), hal. 1524.
Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, juz. 10. (Beirut: Dar al-Ma`arif, tt), hal. 499.

Abi `Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, Al-Umm, Jilid. III. (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr,tt), hal. 94.




[1]Yusuf Qardhawi, Al-`Ibadah fi al-Islam, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), hal. 235
[2]Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-`Azim, Jilid.II, (Beirut: Dar Yusuf, 1983), hal. 332.
[3]Safwan Idris, Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Citra Putra Bangsa, 1997), hal. 51.
[4]Yusuf Qardhawi, Op.Cit. h. 635                     
[5]Syam al-Din al- Sarakhshi, al-Mabsuth, Juz.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 10
[6]Abd al-Hafiz al-Farghaly, al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ah, Juz. III, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, t.t), hal. 387.
[7]Abu `Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, juz. VII. (Qahirah: dar al- Kitab al-`Arabi, 1962), hal. 180.
[8]Al-Nawawi, Kitab al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Jilid. VI. (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt), hal. 180.
[9]Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Muin, juz.  II. (Indonesia: Toha Putra Semarang, tt), hal. 193.
[10]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam V. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoever, 1996), hal. 1524.
[11]Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, juz. 10. (Beirut: Dar al-Ma`arif, tt), hal. 499.
[12]Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasyaf al-Ghina, juz. II. ( Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 278.
[13]Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), cet 1, h. 599

No comments:

Post a Comment