BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Zakat adalah salah satu yang menjadi perbincangan hangat untuk selalu
ditelaah dan difahami secara konseptual dan dinamis.Masalah zakat sering
disebutkan secara beriringan dan berurutan perintahnya dengan Shalat.Karena
zakat tidak hanya berfungsi sebagai ibadah mahzahsemata atau ta`abbudi (dogmatis)
melainkan juga berkenaan dengan harta dan socialkemasyarakatan (ibadah
maliyah ijtima`iyah)[1] atau ta`aquli (rasional).Zakat
memiliki peran sangat penting, strategis dan menentukan bagi moral dan
pengembangan ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Salah satu
yang sangat urgen dan mengemuka dalam persoalan zakat adalah perihal mustahik
zakat di samping harta benda yang wajib dizakatkan. Nash-nash normatif yang
melandasi konsep teoritik mengenai kelompok mustahik zakat (penerima zakat)
telah membatasi para mustahik zakat dengan kelompok yang terbatas, namun tidak
menyebutkan secara rinci siapa-siapa dan kerteria yang berada di dalam kelompok
tersebut serta sistem pendistribusiannya, sebagaimana firman Allah SWT Q.S. at-Taubah (09):60:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya:"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana".
Ayat di atas
menggunakan kata "innama" sebagai huruf hasr (pembatasan), makna
zahir yang dikehendaki adalah membatasi mustahik zakat sehingga
orang-orang yang tidak termasuk dalam kategori ini tidak berhak menerima
zakat. Dalam konteks nasnya sebagaimana terlihat pada munasabat li
al- ayat-nya, bahwa banyak orang-orang yang kuat dan punya harta datang
kepada Nabi SAW untuk meminta bagian dari zakat karena hawa nafsu mereka yang
tak terbatas dan lupa apa yang yang telah mereka miliki, lalu turunlah ayat
tersebut untuk menentukan mustahik zakat hanya delapan golongan (senif)
saja.[2]
Sebagaimana
halnya kasus yang terjadi pada sahabat Nabi SAW yaitu Umar Ibnu al-Khattab
pernah menolak pemberian zakat kepada para mu`allaf di masa
pemerintahan Abu Bakar dan di masa pemerintahannya.Adakah dalam hal ini, Umar
menyalahi hukum yang telah ditetapkan al-Qur`an, bahkan dikuatkan dengan
tindakan Rasulullah SAW, dan para sahabat sepakat dengan pendapat Umar.Karena
pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar tidak dijumpai lagi orang-orang yang
layak disebut "muallafat al-Qulubuhum".Dan Islam juga telah
kuat dan jaya.
Al-Qur`an
telah menggambarkan secara umum tanpa batasan mengenai sasaran dan
pendistribusian zakat kepada asnaf delapan terutama senif yang ketujuh dengan
firman-Nya "Di jalan Allah". Apa yang dimaksud dengan sasaran
ini, dan siapa yang tergolong dalam satuan-satuannya. Batasan makna sabilillah secara
khusus sebagaimana telah diformulasikan oleh para imam mazhab, namun hanya
berorientasi bagi mereka yang berjuang di jalan Allah dengan jalan berperang (ghazwah atau al-qital)
yaitu melawan orang-orang kafir yang menganggu ketentraman dan kedaulatan umat
Islam. Dan itu sangat mungkin serta sesuai dengan kondisi masa itu.
Namun dalam
konteks kekinian batasan makna tersebut harus diperbaharui atau diperluas
dengan makna yang lebih umum dan luas cakupannya (muthlaq dankomperensif).Ibnu
Atsir menyatakan, bahwa sabil makna aslinya adalah al-thariq (jalan). Sabilillah adalah
kalimat yang bersifat umum mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang
dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala
perbuatan wajib, sunat, dan berbagai macam kebaikan lainnya.
Selanjutnya
memperhatikan kepada kondisi umat yang tertinggal, baik sisi perekonomian,
pendidikan dan kebudayaan, maka untuk merekonstrusi kembali makna fisabilillah sebagai
salah satu asnaf mustahiq zakat, diperlukan pemahaman yang lebih luas untuk
diberi hak zakat kepada kelompok ini. Menurut Safwan Idris,[3]penggunaan
zakat di era modern sangat relevan dengan kebutuhan umat untuk mengejar
ketinggalannya. Ia memandang, di zaman ini ditemukan beberapa misi yang
dibangun kelompok misionaris dan kelompok munafiqin untuk menghancurkan dan
mengobok-obok Islam dan perekonomiannya. Pendistribusian zakat pada bidang ini
akan dapat memberikan ketahanan umat yang lebih besar dan sangat bermakna.
Untuk menjawab
sebuah permasalahan di atas, salah seorang pemikir dan pakar fiqih modern,
Yusuf Qardhawi, (untuk selanjutnya di singkat Qardhawi) telah memberikan penafsiran yang lebih luas terhadap
makna senif fisabilillah dalam ayat zakat dengan menyesuaikan
kondisi umat Islam sekarang ini. Sehingga dari hasil analisa dan dalil-dalil
yang digunakannya ditemukan terjadinya perluasan cakupan makna sabilillah
melebihi makna yang pernah dikembangkan oleh para imam mazhab, dan sedikit
berbeda maknanya dengan pemikiran para ulama kontemporer lainnya seperti,
Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut.
Yusuf Qardhawi memberikan penafsiran fisabilillah yang lebih luas
dari makna imam mazhab, dan sedikit lebih sempit maknanya, sehingga berbeda
dari pendapat ulama modern lainnya.Qardhawi
mengartikan fisabilillah dengan jihad, sebagaimana yang
diartikan mazhab.Akan tetapi jihad yang dimaksudnya adalah jihad dalam bentuk
tulisan, lisan, pemikiran, pendidikan, sosial, budaya serta politik yang
kesemuanya itu digunakan untuk keagungan dan kemegahan Islam.
Berdasarkan
uraian pokok yang telah penulis kemukakan dalam latar belakang masalah, maka
dapat dirumuskan tiga permasalahan, yaitu: pertama, metode
penalaran apa saja yang digunakan oleh Yusuf Qardhawi dalam
menginterpretasi dan memperluas cakupan makna fisabilillah?.Kedua, apa alasan dan dalil-dalil yang digunakan Qardhawi untuk menetapkan dan memperluas cakupan
makna fisabilillah?. Ketiga, magaimana
pola penyelesaiannya bila dilihat dari segi filosofi atau maqasid
al-syari`ah fisabilillah?.
BAB II
PEMAHAMAN TENTANG FISABILILLAH SEBAGAI MUSTAHIQ
ZAKAT
A. Defenisi
fisabilillah
ان
المعنى اللغوى الاصلى للكلمة واضح فالسبيل هوالطريق وسبيل الله هوالطريق الموصول
الى مرضاته افتقادا و عملا
Artinya
:“ Makna menurut bahasa asli bagi kalimat yang jelas. Maka kata”sabil” yaitu jalan. Dan”sabilillah”
yaitu jalan untuk sampainya kepada keridhaan Allah SWT baik berupa praktek
maupun amalan “[4]
Adapun pendapat lainnya tentang makna fisabilillah ini adalah
pendapat Alamah Ibnu Atsir sebagai berikut :
قال
العلا مة ابن الا ثير : السبيل فى الاصلى الطر يق و ( سبيل الله)عام, يقع علي كل
عمل خالص سلك به طريق التقرب الي الله عز و جل بأداء الفراءض و النوافل و انواع
التطوعات
Artinya : “ Berkata Alamah Ibnu Atsir. ‘kata sabil’menurut asli
yaitu jalan dan kata ‘sabilillah’menurut umum yaitu terjadi atas tiap amalan
ikhlas yang mengikut dengannya jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza
Wajalla dengan do’a yang wajib dan sunat dan macam-macam ketaatan “
Dari defenisi di atas makna fisabilillah (pada jalan Allah) ini
menurut arti bahasanya secara umum, yang meliputi semua jalan yang dapat
menyampaikan kepada keridhaan Allah. Dengan demikian fisabilillah meliputi
semua amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan segala macam kebaikan
Alamah Ibnu Atsir juga menjelaskan tentang penafsiran kalimat
’fisabilillah’ sebagai berikut :
١. المعنى الأصلى للكلمة لغة هو كل عمل
خالص سلك به طريق التقرب الى الله فهو يشمل جميع الأعمال الصالحة, فردية كانت او
جماعية
٢. المعنى
الغالبى للكلمة والذى يفهم منها على الاطلاق هو الجهاد
Artinya
:1. Makna asli bagi kalimat “fisabilillah” menurut bahasa yaitu setiap
amalan ikhlas yang mengikut jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang
dianya mencakup seluruh amalan shaleh, baik itu pribadi maupun kemasyarakatan
2.
Makna secara umum bagi kalimat ”fisabilillah” dan yang dipahami darinya secara
mutlak yaitu jihad.
Dalam fathul
mu’in ‘fisabilillah’adalah:
سبيل الله هو
القاءم بالجهاد متطوعا ولو غنيا و يعطى الجاهد النفقة والكسوة له ولعياله ذهبا و
إيابا وثمن آلة الحرب
Artinya : “fisabilillah yaitu pejuang agama
sukarelawan sekalipun kaya dan pejuang diberi bagian sebagai nafkahnya,
pakaianya dan juga untuk keluarganya selama masih pergi dan pulang, demikian
pula diberi biaya alat peperangan atau perjuangan.”
B. Tinjauan Fisabilillah Menurut Fuqaha’
Dalam
hal ini makna fisabilillah ada beberapa pendapat yang menjelaskannya
diantaranya:
1. Mazhab
Hanafiyah
فعلماء المذهب
الحنفي وان اختلفوا في تعيين المراد بسبيل الله, مجموعون على ان الفقر و الحاجة
شرط لازم لاستحقاق كل من يعتبر فى سبيل الله, سواء كان غازيا ام حاجا, ام طلب علم
ام ساعيا فى سبيل الخيرات
Artinya : “Ulama mazhab Hanafi bahwa mereka berbeda pendapat pada
penjelasan maksud fisabilillah, sepakat mereka atas bahwa fakir dan orang-orang
yang membutuhkan syarat yang lazim untuk mencari kebenaran tiap-tiap dari
pandangan pada maksud fisabilillah, bersamaan ada perang, haji, menuntut ilmu,
atau berusaha pada jalan kebaikan.”
Sarakhshi menyebutkan,
dalam mazhab Hanafi ditemukan beberapa pengertian arti kata sabilillah, yaitu:
"pejuang yang fakir" dan "Orang-orang fakir yang melaksanakan
haji, lalu putus belanjanya". Sarakhshi menambahkan bahwa pengertian yang
pertama dinisbahkan kepada Abu Yusuf, dan yang kedua pendapat Muhammad
al-Syaibani.[5]
Dari dua pengertian di atas, Ibnu `Abidin
menilai bahwa yang pertama lebih kuat maknanya. Pengertian ini menurutnya tidak
semua pejuang menjadi senif zakat ini, akan tetapi pejuang yang dimaksud adalah
pejuang yang lemah (`ajuz) pendapatan dalam perjuangannya. Karena dalam
perjuangan kebinasaan atau cedera baik menimpa pada benda (bekal makanan) atau
binatang (dabbah) sering terjadi.Oleh karena itu kepada mereka diberikan zakat
agar dapat memenuhi kebutuhannya yang membantu mereka dalam perjuangan.
Berbeda dengan yang dikemukakan Sarakhshi,
dalam al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ahdidapatkan pengertian lain
yang dianggap pendapat mazhab ini, yaitu para penuntut ilmu dan segala kebaikan
lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah.[6] Namun
argumentasi ulama yang mengartikan pengertian ini tidak diungkapkan.Oleh karena
itu pengertian yang dua terakhir (pelaksana haji dan penuntut ilmu) dianggap
popular dalam mazhab Hanafi.
Selanjutnya, al-Syaibani mengatakan bahwa haji
merupakan bagian dari fisabilillah.Korelasi haji dengan fisabilillah adalah
sama-sama memenuhi panggilan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta
memerangi hawa nafsu yang merupakan musuh Allah. Alasan yang dikemukakan
al-Syaibani nampaknya tidak rajah untuk membatasi cakupan makna fisabilillah,
karena hal itu dapat diterapkan pada amalan yang mendekatkan diri kepada Allah,
tidak hanya pada ibadah haji.Dengan demikian makna sabilillah menurut mazhab
Hanafi adalah pejuang fakir yang terjun dalam peperangan.Mereka diberi harta
zakat agar dapat membantu keperluan yang dibutuhkan dalam perjuangan.Maka
pejuang yang kaya harta tidak diberikan zakat karena telah dicukupkan dengan
sendiri.
2. Mazhab
Malikiyah
١. انهم متفقون على ان (سبيل الله) يتعلق بالغزوة و الجهاد وما فى
معناه كالرباط
٢.
انهم يرون إعطاء المهاجر والمرابط ولو كان غنيا
٣. ان جمهورهم يجيزون الصرف فى مصالح الجهاد
كالسلاح والخيل والاسوار والسفن الحرية و نهوها
1. Bahwa mereka sepakat tentang maksud ‘fisabilillah’ dikaitkan
dengan perang, jihad, dan apa pada maknanya seperti ikatan.
2.
Bahwa mereka berpendapat anggota jihad dan yang terkait sekalipun mereka kaya
3.
Bahwa kebanyakan mereka membolehkan memalingkan kepada kemaslahatan jihad
seperti pembelian senjata, kuda, membangun bebteng, kapal perang dan
seumpamanya.
Menurut al-Qurtubi, salah
seorang mufassir yang beraliran Malikiyah, pengertian fisabilillah dalam mazhab
Maliki adalah: "fisabilillah adalah pejuang yang memiliki ikatan,
diberikan untuk menjadi kebutuhan mereka dalam peperangan baik keadaan mereka
kaya atau miskin."[7]Pengertian
fisabilillah yang diberikan Malikiyah menunjukkan bahwa tidak membedakan kaya
dan miskin.Semua pejuang yang terjun dalam peperangan mendapat jatah harta
zakat.Pemberian ini hanya disebabkan karena terlibat dalam peperangan bukan
lainnya.
Menurut al-Dasuqi dalam karyanya Hasyiyah
al-Dasuqi, pejuang dengan lafadh "al-jihad" hanya diberi
zakat bila memiliki persyaratan : muslim, laki-laki, baligh, dan berkemampuan
untuk berjuang. Sementara pejuang non muslim, misalnya ahli zimmah,
pejuang perempuan, pejuang anak-anak dan tidak ada kemampuan untuk berjuang
tidak termasuk dalam kategori fisabilillah menurut mazhab ini
.
3. Mazhab Syafe’iyah
مذهب الشافعية, ان (سبيل الله) كما فى المنهاج للنواوى وشرحه
لأبن حجر الهيشمى هم الغزاة التطوعون الذين لا يتقاضون راتبا من الحكومة
Artinya : “Mazhab
syafe’iyah bahwa kata ‘fisabilillah’ sebagaimana pada penjelasan Nawawi dan
menguraikan Ibnu Hajar Haisyami yaitu mereka yang berperang karna ketaatan
mereka yang tidak mengharapkan gaji dari pemerintah.”
سبيل الله وضعا : الطريق الموصولة اليه تعلى- ثم كثر استعماله
فى الجهاد لأنه سبب الشهادة الموصوله الى الله تعلى
Artinya :“sabilillah”secara pasti adalah
jalan untuk sampainya kepada Allah SWT, yang kebanyakan cangkupannya itu pada
jihad, karna sebab kesaksian sampai kepada Allah SWT.”
Al-Nawawi menyebutkan dalam al-Majmu` bahwa yang dimaksud
dengan fisabilillah adalah pejuang di medan perang: "Mereka adalah
orang-orang yang berperang dengan suka rela sedang mereka tidak memperoleh hak
ketenteraan muslim dari negara. Karena itu mereka tidak diberi zakat dari
bagian orang yang berperang, sebab memperoleh rezki dari harta rampasan
perang."[8]
Senada dengan ini, Zainuddin Malibari dari kalangan Syafi`iyah dalam
kitabnya Fath al-Mu`inmenyebutkan definisi fisabilillah yaitu:
"Pejuang agama sukarelawan sekalipun kaya; maka pejuang diberi bagian
sebagai nafkahnya, pakaiannya dan juga untuk keluarganya selama masa pergi dan
pulang, demikian pula diberi biaya alat peperangan".[9]
Secara literal fisabilillah bermakna jalan
(tariqat) yang menyampaikan kepada Allah, baik dengan cara berperang ataupun
kegiatan lain yang bernilai ibadah kepada-Nya. Namun `uruf menggunakan kata itu
pada makna pejuang (mujahid).Makna ini kemudian dijadikan sebagai maksud
syara`.Maka berdasar makna itulah dipahami bahwa yang dimaksud fisabilillah
adalah pejuang peperangan.Fisabilillah adalah para pejuang suka rela yang turun
dalam perjuangan membela agama.Mereka bukan tentera yang diangkat oleh
penguasa.Oleh karena itu hak ketentaraan yang dianggarkan negara tidak
didapatkannya.Perjuangan mereka dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak
terikat dengan aturan berkelompok.Bila keadaan sehat dan kuat, perjuangan terus
dilakukan. Sebaliknya mereka akan kembali menjadi masyarakat biasa, bekerja
seperti biasa, di kala keadaan tidak mampu berjuang.[10]
Selanjutnya Ibnu hajar berkata bahwa
fisabilillah itu sebenarnya jalan yang menyampaikan seseorang kepada ridha
Allah, kemudian kata ini sering dipergunakan untuk jihad, karena merupakan
sebab yang jelas yang akan menyampaikan seseorang pada Allah, mereka berperang
bukan karena mengharapkan imbalan sesuatu sehingga mereka itu lebih utama
daripada lainnya. Mereka harus diberi sesuatu yang dapat membantunya dalam
peperangan walaupun keadaan mereka itu kaya.[11]
Imam Syafi`i mengatakan dalam al-Umm,
bahwa diberikan dari bagian fisabilillah orang yang berperang dari dekat dengan
harta yang dikeluarkan zakatnya, fakir ia atau kaya. Dan jangan diberikan yang
lain dari orang tersebut, kecuali memberi kepada orang yang menghalangi dan
mempertahankan diri dari orang-orang musyrik. Imam al-Syafi`i mensyaratkan
orang yang dekat dengan harta zakat, karena menurutnya tidak boleh memindahkan
zakat ketempat lain di mana harta itu berada. Ia berkata: "Zakat yang
diambil dari suatu kaum hendaknya dibagikan kepada orang yang berhak yang hidup
sekampung dengan mereka, kecuali jika tidak ada seorang pun yang berhak
menerima zakat.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa mazhab Syafi`i sejalan dengan mazhab Maliki dalam
mengkhususkan sasaran zakat pada fisabilillah, dan membolehkan memberi mujahid
yang dapat menolongnya dalam berjihad, walaupun kaya, serta boleh menyerahkan
zakat untuk memenuhi yang mutlak diperlukan, seperti senjata dan perlengkapan
lainnya. Akan tetapi dalam hal ini mazhab Syafi`i berbeda pendapat dengan
mazhab Maliki yaitu: mereka mensyaratkan pejuang sukarelawan itu tidak mendapat
bagian atau gaji yang dianggarkan oleh negara.
4. Mazhab Hambali
مذهب الحنابلة كمذهب الشافعية ان المراد بسبيل الله هو الغزاة
المتطوعة الذين ليس لهم راتب او لهم دون ما يكفيهم, يعطى الجاهد منهم ما يكفيه
لغزوة, ولو كان غنيا
Artinya : “Mazhab
Hambali sama dengan mazhab Syafe’i bahwa yang dimaksud fisabilillah adalah
perang, orang yang berperang karna ketaatannya yang tidak ada bagi mereka gaji
atau bagian yang tidak mencukupi untuk perang, maka orang yang jihad tersebut
diberi bagian untuk mencukupi alat perangnya, sekalipun mereka kaya.”
Pandangan Hanabilah
terhadap sabilillah banyak persamaan dengan yang dikemukakan Syafi`iyah, tetapi
mereka menambahkan bahwa cakupan yang dikehendaki dari pengertian fisabilillah
lebih luas.Menurut mereka penjaga benteng pertahanan juga dinamakan bagian
perang walaupun tidak ada penyerangan, juru rawat, tukang masak, dan lainnya
yang berhubungan dengan peperangan.[12] Dalam penggunaan dalil, Hanabilah menggunakan
nas al-Qur`an seperti pegangan Syafi`iyyah.
Perbedaan lain antara dua mazhab itu adalah
pada pelaksana haji. Namun, pandangan ini diperselisihkan mereka.Ibnu Qudamah
mengatakan haji tidak termasuk dalam fisabilillah, karena haji seseorang miskin
tidak memberi manfaat bagi umum. Apabila haji dilaksanakan dengan harta zakat,
kegunaan hanya terbatas pada diri pelaku an sich. Sedangkan fisabilillah
dikehendaki manfaat kolektif.
Sedangkan Hanabilah yang lain menganggap haji
termasuk dalam fisabilillah. Maka orang fakir dan miskin yang
berkeinginan melaksanakan haji dapat dibantu dengan harta zakat.mereka
menjadikan hadits Abu Daud sebagai argumentasi. Dari dua pendapat
tersebut, pendapat yang dikemukakan Ibnu Qudamah dianggap lebih kuat dalam
mazhab ini.Arti pejuang perang itu merupakan makna yang dikehendaki oleh
ungkapan (itlaq) dan banyak ayat yang menggunakan lafadh sabil dianggap
menunjuki demikian. Jadi makna yang dipandang mereka sama dengan yang diberikan
Syafi`iyah.
Dan penjelasan beberapa pendapat para ulama
diatas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah disini adalah seluruh
amalan ikhlas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, yaitu berupa perang
atau jihad.
Jika kita lihat perluasan makna ”fisabilillah”
sekarang ini ia bukan hanya diartikan sebatas perang mengangkat senjata saja,
melainkan fisabilillah meliputi seluruh bentuk ketaatan, kebaikan dan qurbah
(pendekatan diri kepada Allah), sebab jihad adakalanya tidak saja dilakukan
dengan pedang atau senjata, melainkan juga dengan tulisan(pena), lisan,
pikiran, pendidikan, kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dengan
kata lain semua jihad yang dimaksudkan di sini untuk menegakkan dan menjunjung
tinggi kalimat Allah.
Sebagian amalan dan aktifitas kita adakalanya bersifat
kondisional.Di suatu negara tertentu, pada waktu tertentu, dan kondisi tertentu
mungkin suatu amal bisa bernilai jihad fisabilillah. Sementara di negara lain
atau pada waktu lain dan kondisi lain pula, ia tidak bernilai jihad
fisabilillah.
Mendirikan sekolah dalam kondisi biasa
merupakan amal shaleh dan usaha yang patut disyukuri serta dipuji, oleh islam
tidak dianggap jihad. Misalnya di suatu wilayah(yang penduduknya antara
beragama islam), belum ada lembaga pendidikan yang bernaung dibawah kekuasaan
kaum komunis, atau kaum sekuler. Dalam kondisi ini mendirikan sekolah islam
merupakan jihad yang paling besar.
Bukan hanya mendirikan sekolah, mendirikan
perpustakaan islam sebagai antisipasi terhadap perpustakaan yang merusak umat
merupakan jihad terpenting. Mendirikan rumah-rumah sakit islam untuk melayani
kebutuhan medis kaum muslim dan dapat menyelamatkan mereka dari sasaran
kristenisasi yang dapat menyesatkan atau menghadapi organisasi-organisasi
intelektual dan peradaban yang sangat membahayakan. Membebaskan negeri islam
dari kekerasan kaum kafir, juga termasuk fisabilillah. Tidak diragukan lagi
bahwa, jihad dalam makna inin sangat tepat untuk zaman sekarang.
“Adapun kata fisabilillah yang dipahami oleh
mayoritas ulama, dalam arti para pejuang yang terlibat dalam peperangan baik
keterlibatannya langsung maupun tidak.Termasuk juga di dalamnya pembelian
senjata, pembangunan benteng, kapal peperangan, dan lain-lain yang berhubungan
dengan pertahanan negara, sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman.”[13]
Kini sekian banyak ulama kontemporer memasukkan
kelompok ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan, maupun
organisasi islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, mesjid, rumah sakit,
dan lain-lain. Dengan alasan kata fisabilillah dari segi kebahasan mencakup
segala aktiftas yang mengantar menuju jalan dari keridhaan Allah. Syarat mutlak
bagi seluruhnya adalah bahwa fisabilillah dalam arti untuk membela islam dan
meninggikan kalimatnya di muka bumi ini.
Satu hal lagi yang termasuk dalam kategori
fisabilillah adalah membangun pusat-pusat dakwah, pusat-pusat islam (Islamic
Centre) untuk mendidik dan memelihara remaja-remaja islam serta
mengarahkannya dengan arahan yang sehat, memelihara mereka dari kekafiran
akidah, dari penyimpangan-penyimpangan pikiran, dan penyimpangan tingkah laku,
juga kategori fisabilillah.
Berusaha mengembalikan hukum islam, lebih
penting dari pada jihad(perang)karena bertujuan menjaga hukum islam dari campur
tangan orang – orang kafir, menyebarkan dakwah islam, dan membela islam dengan
lisan atau tulisan. Jika hal tersebut tidak memungkinkan dengan melakukan
pembelaan dengan pedang dan semangat.
Pada masa sekarang ini, boleh jadi serangan
terhadap islam dalam bidang pemikiran dan kejiwaan lebih berbahaya, dan lebih
berdampak buruk dari pada serangan meliter, sehingga pada masa dahulu ulama
hanya membatasi pengertian fisabilillah dan hal mereka yang menjaga dan
mempertahankan perbatasan, atau mempersiapkan tentara untuk menyerang musuh,
pembelian senjata dan alat- alat perang. Maka dalam hal ini perlu ditambahkan
dalam bentuk lain, pertahanan, persiapan penyerangan, antara lain dalam bidang
pemikiran dan dakwah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari ulasan dan uraian di atas ada dua
kesimpulan, yaitu:
1.
Ulama Mazhab memaknai fisabilillah
adalah: pertama, Mazhab Hanafi memahami fisabilillah adalah para
pejuang perang yang miskin. Pejuang yang kaya dan haji yang yang putus
belanjanya tidak diberikan hak zakat sabilillah. Dalam suatu riwayat haji yang
putus belanjanya diberi hak zakat. Kedua, mazhab Maliki, sabilillah
adalah semua mereka yang berperang baik kaya atau miskin. Baik telah mendapat
gaji dari negara melalui harta ghanimah atau tidak. Haji yang putus belanjanya
tidak mendapat jatah fisabilillah. Ketiga, mazhab Syafi`i
mengemuakan bahwa fisabilillah adalah para pejuang yang miskin maupun yang kaya
dan tidak mendapat jatah harta ghanimah dari negara. Perjuangan mereka
dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak terikat dengan aturan berkelompok.
Bila keadaan sehat dan kuat, perjuangan terus dilakukan. Sebaliknya mereka akan
kembali menjadi masyarakat biasa, bekerja seperti biasa, di kala keadaan tidak
mampu berjuang. Keempat, mazhab Hanbali menyebutkan bahwa
fisabilillah adalah para pejuang miskin dan kaya. Mencakup juga mereka yang
menjaga benteng pertahanan Menurutnya penjaga benteng pertahanan juga dinamakan
bagian perang walaupun tidak ada penyerangan, juru rawat, tukang masak, dan
lainnya yang berhubungan dengan peperangan.
2.
Menurut ulama kontemporer, makna fisabilillah
adalah: pertama, Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut dan beberapa ulama
kontemporer lainnya menggunakan kata sabilillah menurut arti bahasa secara
umum, yang meliputi semua jalan (al-subul) yang menyampaikan
kepada keridhaan Allah. Dengan demikian ia meliputi semua amal yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah dan semua macama kebaikandan balasan dari
Allah. Kemaslahatan umum kaum muslimin, yang dengannya tegak urusan agama dan
pemerintahan, bukan kepentingan pribadi. Mendirikan rumah sakit tentara,
membuat jalan dan memperbaikinya dan sebagainya termasuk dalam area
fisabilillah. Kedua, Qaradawi berpendapat fisabilillah bermakna
khusus, yakni jihad. Menurutnya bahwa jihad itu adalah melaksanakan segala
usaha yang berhubungan dengan kejayaan Islam. Kejayaan Islam di zaman sekarang
tidak hanya di lihat pada segi hukum semata, akan tetapi keutuhan umat dalam
menjalankan kehidupan sesuai dengan Islam harus diperjuangkan. Menurutnya bahwa
para ulama yang memperluas arti fisabilillah yang membuka banyak segi yang
tidak dapat dihitung jenis dan golongannya, bertentangan dengan maksud dari
ayat yang membatasi pembagian uang zakat itu untuk delapan bagian yang telah
disebutkan dalam kitab suci al-Qur`an. Sebagaimana arti sabilillah termasuk
pemberian kepada kaum fakir miskin. Qaradawi memandang arti sabilillah jangan
diperluas, sehingga akan meliputi segala masalah yang baik, dan jangan
dipersempit pada masalah-masalah yang ada hubungannya dengan jihad atau perang.
Sebab jihad itu luas sekali mencakup berbagai bidang. Jihad dengan pena, lisan,
jihad dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, atau social.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat,
Terj. Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hal. 610..
M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur`an, vol. V. (Jakarta: Lentera hati, 2009), hal. 146
Syam
al-Din al- Sarakhshi, al-Mabsuth, Juz.III, (Beirut: Dar al-Fikr,
1993), hal. 10
Ibnu al-`Abidin, Radd al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Absar,
Juz.III, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyah, 1994), hal.343.
Abd al-Hafiz al-Farghaly, al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ah,
Juz. III, (Qahirah: Maktabah al-Qahirah, t.t), hal. 387.
Abu `Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami`
li Ahkam al-Qur`an, juz. VII. (Qahirah: dar al- Kitab al-`Arabi, 1962),
hal. 180.
Al-Nawawi, Kitab al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Jilid.
VI. (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt), hal. 180.
Zain
al-Din al-Malibari, Fath al-Muin, juz. II. (Indonesia:
Toha Putra Semarang, tt), hal. 193.
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam V.
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoever, 1996), hal. 1524.
Muhammad
Abduh, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, juz. 10. (Beirut: Dar al-Ma`arif,
tt), hal. 499.
Abi `Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, Al-Umm,
Jilid. III. (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr,tt), hal. 94.
[2]Abu
al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-`Azim, Jilid.II,
(Beirut: Dar Yusuf, 1983), hal. 332.
[3]Safwan
Idris, Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Citra Putra
Bangsa, 1997), hal. 51.
[4]Yusuf Qardhawi, Op.Cit. h. 635
[6]Abd
al-Hafiz al-Farghaly, al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ah, Juz. III,
(Qahirah: Maktabah al-Qahirah, t.t), hal. 387.
[7]Abu
`Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami` li Ahkam
al-Qur`an, juz. VII. (Qahirah: dar al- Kitab al-`Arabi, 1962), hal. 180.
[8]Al-Nawawi, Kitab
al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Jilid. VI. (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt),
hal. 180.
[10]Abdul
Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam V. (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoever, 1996), hal. 1524.
[12]Mansur
bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasyaf al-Ghina, juz. II. ( Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 278.
[13]Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta:Lentera Hati, 2002),
cet 1, h. 599
No comments:
Post a Comment