KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah SWT atas
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang telah dianugrahkan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘’Mustahiq Zakat’’. Shalawat dan salam semoga senantia tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad SAW. Semoga kita semua termasuk umat beliau dan berhak
memperoleh syafaatnya nanti di yaumil akhir.
Tujuan penulis menulis makalah ini
adalah untuk menyelesaikan tugas pada Mata Kuliah Fiqh Zakat. Selain itu
makalah ini juga dibuat dengan tujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dan
memupuk rasa cinta terhadap ilmu Fiqh Zakat tersebut.
Dalam penulisan makalah ini tidak
selalu berjalan lancar. Dalam hal ini penulis mendapat beberapa hambatan,
seperti kurangnya buku sebagai sumber bacaan dan kurangnya pengetahuan penulis
tentang judul makalah ini.
Segala kritik dan saran yang
bersifat membangun dan memperbaiki sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah
ini. Semoga sumbangsih kecil karya penulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Pekanbaru,11 Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LatarBelakangMasalah................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Fakir................................................................................................... 2
B.
Miskin................................................................................................ 3
C.
Amil.................................................................................................... 4
D.
Mua’allaf............................................................................................ 5
E.
Memerdekakan
budak........................................................................ 7
F.
Orang
yang
berhutang....................................................................... 9
G.
Fi sabilillah......................................................................................... 10
H.
Ibnu
Sabil............................................................................................ 12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mustahiq zakat, adalah golongan
orang yang berhak menerima zakat. Mengenai mustahiq zakat ini telah di tetapkan
ketentuannnya di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yaitu :
*$yJ¯RÎ)àM»s%y¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pkön=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏBÌ»tóø9$#urÎûurÈ@Î6y«!$#Èûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#(ZpÒÌsùÆÏiB«!$#3ª!$#uríOÎ=tæÒOÅ6ymÇÏÉÈ
60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di
dalam Al-Qur’an di jelaskan hannya secara umum tentang ashnaf yang delapan ini.
Maka sunnahlah yang memberi penerangan dan contoh. Lalu para ulama yang
memberikan penjelasan dan menerangkan tentang asnaf yang delapan ini.
Oleh
karena demikian disini kami ingin mencoba membahas mengenai golongan
orang-orang yang menerima zakat (Mustahiq Zakat).
.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang di maksud dengan Mustahiq zakat ?
BAB II
PEMBAHASAN
Para ulama
Mazhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan.
Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60. Tetapi para ulama
Mazhab berbeda pendapat tentang defenisi para penerima zakat. Di karenakan,
berbeda pendapat dalam penafsiran dari Al-Qur’an dan sunnah. Adapun Mustahiq
zakat yang delapan itu adalah :
A.
Fakir
Terdapat
perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan orang fakir (al-faqr,
jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah berpendapat orang fakir adalah
orang yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Adapun menurut jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak
mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya
sendiri maupun untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.[1]
B.
Miskin
Dalam
mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-masakin) pun,
kedua golongan ulama diatas berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, orang
miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi
kebutuhannya sehari-hari. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah
orang yang mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri
dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi. Akan tetapi
Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qasim (w. 918 M; tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak
membedakan secara defenitif kedua kelompok orang tersebut (fakir dan miskin).
Menurut mereka, fakir dan miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian
yang sama.
Islam sangat
memperhatikan nasib fakir dan miskin ini. Hal ini terbukti dengan adanya
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi yang menyuruh umat Islam memperhatikan nasib
mereka. Bahakan Al-Qur’an memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir
miskin sebagai pendusta agama, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Ma’un ayat
1-3:
|M÷uäur&Ï%©!$#Ü>Éjs3ãÉúïÏe$!$$Î/ÇÊÈÏ9ºxsùÏ%©!$#íßtzOÏKuø9$#ÇËÈwurÙçts4n?tãÏQ$yèsÛÈûüÅ3ó¡ÏJø9$#ÇÌÈ
1.
tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
Usaha-usaha
Islam untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin antara lain ialah dengan
pemberian zakat kepada mereka. Dan fakir miskin adalah yang paling berhak
menerima zakat diantara delapan ashnaf.[2]
C.
Amil
Yang dimaksud amil adalah orang yang ditunjuk
untuk mengumpulkan zakat, menyimpannya, membaginya kepada yang berhak dan
mengerjakan pembukuannya.[3]
Mereka itu
adalah kelengkapan personil dan finasial untuk mengelola zakat.
a. Mereka diangkat
oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi
pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan
membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran
atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik
harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang mustahik,
mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah
Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan
panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk
kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam
syariat Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut
harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
b. Tugas-tugas
yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena
berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim,
laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat. Ada tugas-tugas sekunder lain
yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat
di atas, yaitu akuntansi, penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki lembaga
pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.
c. Para amil zakat
berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat
mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas,
walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan
biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat
(13,5%).
Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahik lain.
Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahik lain.
d. Para amil zakat
tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk uang
ataupun barang. Melengkapi
gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang
diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan
lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana
tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan
penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.
e. Instansi yang
mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat
berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam
melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus
jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan
bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan
kelalaiannya. Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara
umum. Misalnya, penyantun dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu
mendoakan mereka. Begitu juga terhadap para mustahik, mereka mesti dapat
menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu,
agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahik.[4]
D.
Muallaf
Yaitu golongan
yang diusahakan untuk dirangkul, ditarik, dan dikukuhkan hatinya dalam
keislaman disebabkan belum mantapnya keimanan mereka atau untuk menolak bencana
yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum muslimin dan mengambil keuntungan
yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.[5] Kemudian
menurut Umrotul Khasanah, yang dimaksud muallaf disini ada 4 macam yaitu:[6]
a. Muallaf muslim ialah
orang yang sudah masuk islam tetapi niatnya atau imannya masih lemah, maka
diperkuat memberi zakat.
b. Orang-orang
yang masuk islam dan niatnya cukup kuat, dan ia terkemuka di kalangan kaum nya,
dia diberi zakat dengan harapan kawan- kawannya akan tertarik masuk islam.
c. Muallaf yang dapat
membendung kejahatan orang kaum kafir disampingnya.
d. Muallaf yang dapat
membendung kejahatan orang yang membangkang membayar zakat.
E. Memerdekakan
Budak Belian.
Riqab adalah jamak dari raqabah.
Artinya budak belian laki-laki. Cara membebaskan budak bia dilakukan dengan dua
hal :
1.
Menolong hamba mukatab, yaitu budak yang telah ada
perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan
harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. Allah telah memerintahkan kepada
kaum muslimin untuk memberikan kepada mereka yang dalam memenuhi tuntutan yang
diperlukan.Membebaskan budak dengan cara ini, diikuti oleh Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i, dan Laits bin Saad.
2. Seseorang dengan harta zakatnya atau
seseorang bersama-sama dengan temannya membeli seorang budak kemudian
membebaskan.Cara ini termasuk pendapat yang mashur yang dikuti oleh imam Malik,
Ahmad dan Ishak.[7]
Menurut Imam Hanafi : Zakat dapat juga digunakan untuk membebaskan
orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan :
a.
Membantu para budak mukatab, yaitu budak yang sedang
menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan dirinya dari majikannya
agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya dari zakat.
b.
Atau dengan membeli budak kemudian dimerdekakan.
Pada zaman sekarang ini, sejak
penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi
menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari
tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian
maka mustahik ini tetap akan ada selama masih berlangsung peperangan antara
kaum muslimin dengan musuhnya.
F. Orang Yang
Berhutang
Al-Gharimun adalah bentuk jamak dari Gharim, artinya
: adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Menurut Mazhab Abu
Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan tidak memiliki bagian
yang lebih dari dari hutangnya. Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa
orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan, masing-masing
mempunyai hukum tersendiri, ada dua macam jenis gharim, yaitu:
1.
Al-Gharim untuk kepentingan dirinya sendiri.
Yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan
primer pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah,
makan, pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga
kehilangan hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat
dengan syarat:
1) Membutuhkan
dana untuk membayar hutang
2) Hutangnya
untuk mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah bukan untuk berbuat maksiat
kepada Allah.
3) Hutangnya jatuh tempo saat itu atau
pada tahun itu
4) Tagihan
hutang dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis
ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
Syarat ini
dikemukakan oleh imam Maliki, sedangkan para fuqaha lain tida mensyaratkan
apapun. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Qatadah : Gharim
adalah orang yang mempunyai hutang dengan tidak berlebihan.
2.
Al-Gharim untuk kemaslahatan orang lain.
Orang-orang yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan
kemuliaan yang tinggi, dan cita-cita yang tinggi pula. Seperti orang yang
berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus
mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan
dana untuk kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk
itu, ia dibantu melunasinya dari zakat.
Diperbolehkan membayar hutangnya mayit dari zakat.
Karena gharim mencakup yang masih hidup dan yang sudah mati. Demikian madzhab
Maliki, berdasarkan hadits Nabi yang bersabda, “Aku adalah yang terdekat
pada seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan
harta, maka itu untuk ahli warisnya; dan barangsiapa yang meninggalkan hutang
atau kehilangan, maka kepadaku dan kewajibanku.” (muttafaq alaih)
Sebagian ulama hari ini memperbolehkan zakat
dipinjamkan dengan qardhul hasan karena qiyas aulawiy (prioritas), yaitu
jika hutang yang sudah terjadi boleh dibayarkan dari zakat, maka qardhul hasan
yang bersih dari riba lebih prioritas dari pada pembagian zakat. Berhutang
dalam dua keadaan itu tujuannya sama, yaitu untuk menutup kebutuhan.
Orang ini dapat diberi zakat untuk membayar hutangnya
apabila tidak mampu membayarnya, dan tidak dapat pula menuntut orang yang
dihutanginya karena ia miskin.[8]
G. Fi sabilillah
(di Jalan Allah)
Menurut tafsir Ibnul Atsir, tentang kata Sabilillah berkonotasi umum, yaitu
:
1.
Bahwa arti asal
kata ini menurut bahasa, adalah setiap amal perbuatan ikhlas yang untuk
bertaqarrub kepada Allah SWT, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan.
2.
Bersifat
mutlak, adalah jihad, sehingga karena seringnya dipergunakan untuk itu, seolah-olah
artinya khusus untuk jihad.[9]
Menurut golongan Hanafi, “sabilillah” adalah sukarelawan yang terputus
bekalnya. Yaitu mereka yang tidak sanggup bergabung dengan tentara Islam,
karena kefakiran mereka, dengan rusaknya perbekalan atau kendaraan mereka. Maka
dihalalkan bagi mereka zakat.
Menurut Imam Muhammad, yaitu : jama’ah haji yang habis
perbekalannya.’golongan Hanafi sepakat, bahwa zakat adalah hak seseorang,
karenanya zakat tidak boleh untuk biaya pembangunan Masjid dan yang lainnya.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, seperti Qadhi Ibnu Arabi dalam Ahkam
al-Qur’an menafsirkan dengan bahwa sabilillah adalah tentara yang
berperang. Muhammad bin Abdul Hakam berkata : “dikeluarkan zakat untuk membuat
baju perang, senjata yang diperlukan, untuk mencegah serbuan musuh. Pendapat
Mazhab Maliki bisa disimpulkan :
1.
Sabilillah itu berkaitan dengan perang, jihad dan yang
semakna dengan itu.
2.
Mereka berpendapat bahwa boleh memberi bagian dari zakat
kepada mujahid dan pengawal perbatasan walaupun dia kaya.
3.
Jumhur Ulama Maliki membolehkan mengeluarkan zakat untuk
kepentingan jihad. Seperti senjata, kuda-kuda, benteng, kapal-kapal perang dan
sebagainya.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i bahwa Sabilillah itu sebagaimana tertera
di dalam Minhaj, Imam Nawawi dan syarahnya, oleh Ibnu Hajar
al-Haitami, bahwa mereka adalah sukarelawan yang tidak mendapat tunjangan tetap
dari pemerintah, atau yang tidak tertera dalam daftar gaji. Tetapi mereka
berperang bila kuat dan sehat. Bila tidak mereka kembali kepada pekerjaan
asalnya.
Imam Syafi’i didalam kitab al-Um, harus diberi zakat dari bagian
harta zakat kepada tentara yang berperang walaupun dia kaya atau miskin. Dan
bagi yang menghalangi orang Musyrikin boleh juga diberi bagian.
Imam nawawi berkata : “adapun orang yang berperang harus diberi perbekalan
dan oakaian selama pulang pergi dan selama tinggal di medan perang.
Dan menurut pendapat dari Mazhab Hambali sama dengan menurut pendapat
Syafi’i. Adapun untuk ibadah haji, terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad. Pertama,
termasuk sabilillah orang fakir yang berhak diberi zakat, yang menyebabkan
ia dapat melaksanakan ibadah haji wajib, atau yang dapat menolong
melaksanakannya. Kedua, bahwa tidak boleh menyerahkan bagian sabilillah
untuk keperluan ibadah haji, sebagaimana pendapat jumhur ulama.[10]
Menurut empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam
makna fi sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin.
Sedangkan pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak
sependapat dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk
tidak memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya
seperti masjid, madrasah, dan lain-lain.
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di sana adalah
kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan urusan dunia
dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah persiapan
perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat transportasi,
pemberangkatan pasuka. dan termasuk juga dalam hal ini adalah mendirikan rumah
sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan Islam, mengirimkan
mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).[11]
Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam
hal ini menyatakan, sabilillah adalah
seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi
keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah
pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan
para dai.
H. Ibnu Sabil
Menurut Jumhur Ulama, Mereka adalah kiasan untuk para
musafir, yaitu orang yang melintas dari satu daerah kedaerah lain.
Al-Qur’an menerangkan lafaz ini sebanyak delapan
tempat dalam keadaan menunjuk kasih saying berbuat baik kepadanya. Seperti
firman Allah dalam surat al-Isra ayat 26 :
ÏN#uäur#s4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#wuröÉjt7è?#·Éö7s?ÇËÏÈ
26.
dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Dan dalam surat ar-Rum ayat 38 :
ÏN$t«sù#s4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#4y7Ï9ºs×öyzúïÏ%©#Ïj9tbrßÌãtmô_ur«!$#(y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqßsÎ=øÿßJø9$#ÇÌÑÈ
38.
Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula)
kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah
orang-orang beruntung.
Adapun rahasia mementingkan ibnu sabil dalam Qur’an
ini, karena Islam senantiasa merangsang untuk melakukan bepergian dan memberi
khabar gembira, karena sebab yang banyak :
1. Ada
perjalanan yang diperintahkan Islam untuk mencari rizki.
2. Ada pula
perjalanan yang disuruh Islam untuk mencari Ilmu, memperhatikan dan merenungkan
tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.
3. Ada pula
perjalanan yang disuruh Islam untuk berperang di jalan Allah
4.
Ada pula perjalanan yang disuruh
Islam untuk melaksanakan ibadah yang tinggi dan istimewa. Yaitu ibadah haji.[12]
Menurut jumhur ulama bahwa orang yang
bermaksud mengadakan perjalanan tidak termasuk pada Ibnu sabil, dengan alasan :
1.
Ibnu sabil artinya orang yang berpisah dengan jalan yang ada padanya.
Orang berada di negerinya tentu tidak berjalan.
2.
orang asing yang ada di negeri tersebut yang melakukan perjalanan,
baginya mendapat bagian.
Ø
Pendapat Imam Syafi’i tentang Ibnu
Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang terputus bekalnya dan
juga termasuk orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang tidak mempunyai
bekal, keduanya diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena orang yang bermaksud
melakukan perjalanan bukan untuk bermaksiat.[13]
Ibnu sabil yang kehabisan biaya di negera lain,
meskipun ia kaya di kampung halamannya. Mereka dapat menerima zakat sebesar
biaya yang dapat mengantarkannya pulang ke negerinya, meliputi ongkos jalan dan
perbekalan, dengan syarat:
a. Ia
membutuhkan di tempat ia kehabisan biaya.
b. Perjalanannya
bukan perjalanan maksiat, yaitu dalam perjalanan sunnah atau mubah.
c. Sebagian
madzhab Maliki mensyaratkan: tidak ada yang memberinya pinjaman dan ia mampu
membayarnya.
Ø Berapa besar
bagian Ibnu sabil diberikan
Pertama, mereka berhak diberi biaya dan
pakaian hingga mencukupi atau berhasil sampai tempat hartanya, apabila ia
memilika harta ditengah perjalannya. Dan mencukupi sampai tujuan bagi yang
tidak mempunyai harta sama ekali.
Kedua,persiapkan baginya kendaraan, apabila
perjalanannya jauh.
Ketiga, diberi semua biaya perjalanan dan
tidak boleh lebih dari itu, ini adalah pendappat yang Shahih.[14]
Penyaluran
zakat kepada para mustahiq
1. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan
merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan
kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung
zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
2. Madzhab
Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian
ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan
pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi.
Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan
memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Tidak
diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam
yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
b. Diperbolehkan
memberikan zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat
dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk
pembiayaan mujahid di medan perang.
c. Ketika
membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi
rata kepada mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada
masing-masing sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
d. Selalu
diperhatikan bahawa kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang
diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan
menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
e. Jika muzakki
yang membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan
kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu
menutup kebutuhan.
f. Jika imam
yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan,
menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mustahiq zakat, adalah golongan orang yang
berhak menerima zakat. Mengenai mustahiq zakat ini telah di tetapkan
ketentuannnya di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yaitu :
*$yJ¯RÎ)àM»s%y¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pkön=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏBÌ»tóø9$#urÎûurÈ@Î6y«!$#Èûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#(ZpÒÌsùÆÏiB«!$#3ª!$#uríOÎ=tæÒOÅ6ymÇÏÉÈ
60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Masjfuk Zuhdi, Masailul fiqiyah, Jakarta, Cv Haji Masagung,
1994.
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat
Modern;Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 1,
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra
Kerjaya, Indonesia.
Murad,
Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12,
2004, Jakarta
Diflaizar, Mustahik Zakat,
(Online). Tersedia:http://diflaizar.blogspot.com/2009/09/mustahik-zakat.html.
Akses: 12 Desember 2016.
[1].Inseklopedi Hukum Islam,
jilid 6 cet ke-5, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 1996.
[2].Masjfuk Zuhdi, Masailul fiqiyah, Jakarta, Cv Haji Masagung,
1994. hlm. 262-263
[3].Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern;Instrumen Pemberdayaan
Ekonomi Umat, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h.41
[4].Diflaizar, Mustahik Zakat, (Online). Tersedia:http://diflaizar.blogspot.com/2009/09/mustahik-zakat.html.
Akses: 12 Desember 2016.
[6]Umrotul
Khasanah, Manajemen Zakat…, h. 41
[7] Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra
Kerjaya, Indonesia, Hlm : 587-588.
[12].Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5
Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta Hlm : 571.
No comments:
Post a Comment