Tuesday, 19 June 2018

MAKALAH: Mustahiq Zakat

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang telah dianugrahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘’Mustahiq Zakat’’. Shalawat dan salam semoga senantia tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Semoga kita semua termasuk umat beliau dan berhak memperoleh syafaatnya nanti di yaumil akhir.
Tujuan penulis menulis makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas pada Mata Kuliah Fiqh Zakat. Selain itu makalah ini juga dibuat dengan tujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dan memupuk rasa cinta terhadap ilmu Fiqh Zakat tersebut.
Dalam penulisan makalah ini tidak selalu berjalan lancar. Dalam hal ini penulis mendapat beberapa hambatan, seperti kurangnya buku sebagai sumber bacaan dan kurangnya pengetahuan penulis tentang judul makalah ini.
Segala kritik dan saran yang bersifat membangun dan memperbaiki sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga sumbangsih kecil karya penulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya dan masyarakat pada umumnya.


Pekanbaru,11 Desember 2016

                                                                           Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.     LatarBelakangMasalah...................................................                      1
B.     Rumusan Masalah..........................................................                      1
           

BAB II PEMBAHASAN
A.     Fakir................................................................................................... 2         
B.     Miskin................................................................................................           3
C.     Amil....................................................................................................          4
D.     Mua’allaf............................................................................................          5
E.      Memerdekakan budak........................................................................          7
F.      Orang  yang berhutang.......................................................................          9
G.     Fi sabilillah.........................................................................................          10
H.     Ibnu Sabil............................................................................................          12

BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan....................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Mustahiq zakat, adalah golongan orang yang berhak menerima zakat. Mengenai mustahiq zakat ini telah di tetapkan ketentuannnya di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yaitu :
*$yJ¯RÎ)àM»s%y¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pköŽn=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏB̍»tóø9$#urÎûurÈ@Î6y«!$#Èûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#(ZpŸÒƒÌsùšÆÏiB«!$#3ª!$#uríOŠÎ=tæÒOÅ6ymÇÏÉÈ
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
            Di dalam Al-Qur’an di jelaskan hannya secara umum tentang ashnaf yang delapan ini. Maka sunnahlah yang memberi penerangan dan contoh. Lalu para ulama yang memberikan penjelasan dan menerangkan  tentang asnaf yang delapan ini.
            Oleh karena demikian disini kami ingin mencoba membahas mengenai golongan orang-orang yang menerima zakat (Mustahiq Zakat).
.
B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang di maksud dengan Mustahiq zakat ?
2.      Apa penjelasan dari masing-masing Ashnaf yang delapan itu ?




BAB II
PEMBAHASAN
            Para ulama Mazhab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan. Dan semuanya sudah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60. Tetapi para ulama Mazhab berbeda pendapat tentang defenisi para penerima zakat. Di karenakan, berbeda pendapat dalam penafsiran dari Al-Qur’an dan sunnah. Adapun Mustahiq zakat yang delapan itu adalah :
A.     Fakir
      Terdapat perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan orang fakir (al-faqr, jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah berpendapat orang fakir adalah orang yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun menurut jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.[1]

B.     Miskin
      Dalam mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-masakin) pun, kedua golongan ulama diatas berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi. Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qasim (w. 918 M; tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak membedakan secara defenitif kedua kelompok orang tersebut (fakir dan miskin). Menurut mereka, fakir dan miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang sama.
      Islam sangat memperhatikan nasib fakir dan miskin ini. Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi yang menyuruh umat Islam memperhatikan nasib mereka. Bahakan Al-Qur’an memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir miskin sebagai pendusta agama, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Ma’un ayat 1-3:
|M÷ƒuäur&Ï%©!$#Ü>Éjs3ãƒÉúïÏe$!$$Î/ÇÊÈšÏ9ºxsùÏ%©!$#íßtƒzOŠÏKuŠø9$#ÇËÈŸwurÙçts4n?tãÏQ$yèsÛÈûüÅ3ó¡ÏJø9$#ÇÌÈ
1. tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.


      Usaha-usaha Islam untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin antara lain ialah dengan pemberian zakat kepada mereka. Dan fakir miskin adalah yang paling berhak menerima zakat diantara delapan ashnaf.[2]

C.     Amil
      Yang dimaksud amil adalah orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat, menyimpannya, membaginya kepada yang berhak dan mengerjakan pembukuannya.[3]
Mereka itu adalah kelengkapan personil dan finasial untuk mengelola zakat.

a.       Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
b.      Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat. Ada tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi, penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.
c.       Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13,5%).        
Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahik lain.
d.      Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk uang ataupun barang.         Melengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.
e.       Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya. Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga terhadap para mustahik, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahik.[4]

D.     Muallaf
Yaitu golongan yang diusahakan untuk dirangkul, ditarik, dan dikukuhkan hatinya dalam keislaman disebabkan belum mantapnya keimanan mereka atau untuk menolak bencana yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum muslimin dan mengambil keuntungan yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.[5] Kemudian menurut Umrotul Khasanah, yang dimaksud muallaf disini ada 4 macam yaitu:[6]
a.       Muallaf muslim ialah orang yang sudah masuk islam tetapi niatnya atau imannya masih lemah, maka diperkuat memberi zakat.
b.      Orang-orang yang masuk islam dan niatnya cukup kuat, dan ia terkemuka di kalangan kaum nya, dia diberi zakat dengan harapan kawan- kawannya akan tertarik masuk islam.
c.      Muallaf yang dapat membendung kejahatan orang kaum kafir disampingnya.
d.    Muallaf  yang dapat membendung kejahatan orang yang membangkang membayar zakat.

E.     Memerdekakan Budak Belian.
             Riqab adalah jamak dari raqabah. Artinya budak belian laki-laki. Cara membebaskan budak bia dilakukan dengan dua hal :

1.   Menolong hamba mukatab, yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. Allah telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memberikan kepada mereka yang dalam memenuhi tuntutan yang diperlukan.Membebaskan budak dengan cara ini, diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Laits bin Saad.

2.   Seseorang dengan harta zakatnya atau seseorang bersama-sama dengan temannya membeli seorang budak kemudian membebaskan.Cara ini termasuk pendapat yang mashur yang dikuti oleh imam Malik, Ahmad dan Ishak.[7]

            Menurut Imam Hanafi :  Zakat dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan :

a.    Membantu para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya dari zakat.
b.   Atau dengan membeli budak kemudian dimerdekakan.

            Pada zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya.

F.      Orang Yang Berhutang
Al-Gharimun adalah bentuk jamak dari Gharim, artinya : adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Menurut Mazhab Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan tidak memiliki bagian yang lebih dari dari hutangnya. Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan, masing-masing mempunyai hukum tersendiri, ada dua macam jenis gharim, yaitu:
           1.            Al-Gharim untuk kepentingan dirinya sendiri.
Yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan, pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan syarat:
1)    Membutuhkan dana untuk membayar hutang
2)    Hutangnya untuk mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah bukan untuk berbuat maksiat kepada Allah.
3)    Hutangnya jatuh tempo saat itu atau pada tahun itu
4)    Tagihan hutang dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
                  Syarat ini dikemukakan oleh imam Maliki, sedangkan para fuqaha lain tida mensyaratkan apapun. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Qatadah : Gharim adalah orang yang mempunyai hutang dengan tidak berlebihan.
        2.          Al-Gharim untuk kemaslahatan orang lain.
Orang-orang yang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan yang tinggi, dan cita-cita yang tinggi pula. Seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari zakat.
Diperbolehkan membayar hutangnya mayit dari zakat. Karena gharim mencakup yang masih hidup dan yang sudah mati. Demikian madzhab Maliki, berdasarkan hadits Nabi yang bersabda, “Aku adalah yang terdekat pada seorang mukmin daripada diri mereka sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya; dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau kehilangan, maka kepadaku dan kewajibanku.” (muttafaq alaih)
Sebagian ulama hari ini memperbolehkan zakat dipinjamkan dengan qardhul hasan karena qiyas aulawiy (prioritas), yaitu jika hutang yang sudah terjadi boleh dibayarkan dari zakat, maka qardhul hasan yang bersih dari riba lebih prioritas dari pada pembagian zakat. Berhutang dalam dua keadaan itu tujuannya sama, yaitu untuk menutup kebutuhan.
Orang ini dapat diberi zakat untuk membayar hutangnya apabila tidak mampu membayarnya, dan tidak dapat pula menuntut orang yang dihutanginya karena ia miskin.[8]

G.    Fi sabilillah (di Jalan Allah)
Menurut tafsir Ibnul Atsir, tentang kata Sabilillah berkonotasi umum, yaitu :
1.      Bahwa arti asal kata ini menurut bahasa, adalah setiap amal perbuatan ikhlas yang untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan.
2.      Bersifat mutlak, adalah jihad, sehingga karena seringnya dipergunakan untuk itu, seolah-olah artinya khusus untuk jihad.[9]
Menurut golongan Hanafi, “sabilillah” adalah sukarelawan yang terputus bekalnya. Yaitu mereka yang tidak sanggup bergabung dengan tentara Islam, karena kefakiran mereka, dengan rusaknya perbekalan atau kendaraan mereka. Maka dihalalkan bagi mereka zakat.
Menurut Imam Muhammad, yaitu : jama’ah haji yang habis perbekalannya.’golongan Hanafi sepakat, bahwa zakat adalah hak seseorang, karenanya zakat tidak boleh untuk biaya pembangunan Masjid dan yang lainnya.
Menurut Ulama Mazhab Maliki, seperti Qadhi Ibnu Arabi dalam Ahkam al-Qur’an menafsirkan dengan bahwa sabilillah adalah tentara yang berperang. Muhammad bin Abdul Hakam berkata : “dikeluarkan zakat untuk membuat baju perang, senjata yang diperlukan, untuk mencegah serbuan musuh. Pendapat Mazhab Maliki bisa disimpulkan :
1.           Sabilillah itu berkaitan dengan perang, jihad dan yang semakna dengan itu.
2.           Mereka berpendapat bahwa boleh memberi bagian dari zakat kepada mujahid dan pengawal perbatasan walaupun dia kaya.
3.           Jumhur Ulama Maliki membolehkan mengeluarkan zakat untuk kepentingan jihad. Seperti senjata, kuda-kuda, benteng, kapal-kapal perang dan sebagainya.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i bahwa Sabilillah itu sebagaimana tertera di dalam Minhaj, Imam Nawawi dan syarahnya, oleh Ibnu Hajar al-Haitami, bahwa mereka adalah sukarelawan yang tidak mendapat tunjangan tetap dari pemerintah, atau yang tidak tertera dalam daftar gaji. Tetapi mereka berperang bila kuat dan sehat. Bila tidak mereka kembali kepada pekerjaan asalnya.
Imam Syafi’i didalam kitab al-Um, harus diberi zakat dari bagian harta zakat kepada tentara yang berperang walaupun dia kaya atau miskin. Dan bagi yang menghalangi orang Musyrikin boleh juga diberi bagian.
Imam nawawi berkata : “adapun orang yang berperang harus diberi perbekalan dan oakaian selama pulang pergi dan selama tinggal di medan perang.
Dan menurut pendapat dari Mazhab Hambali sama dengan menurut pendapat Syafi’i. Adapun untuk ibadah haji, terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad. Pertama, termasuk sabilillah orang fakir yang berhak diberi zakat, yang menyebabkan ia dapat melaksanakan ibadah haji wajib, atau yang dapat menolong melaksanakannya. Kedua, bahwa tidak boleh menyerahkan bagian sabilillah untuk keperluan ibadah haji, sebagaimana pendapat jumhur ulama.[10]
Menurut empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti masjid, madrasah, dan lain-lain.
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat transportasi, pemberangkatan pasuka. dan termasuk juga dalam hal ini adalah mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).[11]
Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini  menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan para dai.

H.    Ibnu Sabil
Menurut Jumhur Ulama, Mereka adalah kiasan untuk para musafir, yaitu orang yang melintas dari satu daerah kedaerah lain.
Al-Qur’an menerangkan lafaz ini sebanyak delapan tempat dalam keadaan menunjuk kasih saying berbuat baik kepadanya. Seperti firman Allah dalam surat al-Isra ayat 26 :
ÏN#uäur#sŒ4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#ŸwuröÉjt7è?#·ƒÉö7s?ÇËÏÈ
26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

Dan dalam surat ar-Rum ayat 38 :
ÏN$t«sù#sŒ4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#4y7Ï9ºsŒ×ŽöyzšúïÏ%©#Ïj9tbr߃̍ãƒtmô_ur«!$#(y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqßsÎ=øÿßJø9$#ÇÌÑÈ
38. Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.
Adapun rahasia mementingkan ibnu sabil dalam Qur’an ini, karena Islam senantiasa merangsang untuk melakukan bepergian dan memberi khabar gembira, karena sebab yang banyak :
1.       Ada perjalanan yang diperintahkan Islam untuk mencari rizki.
2.       Ada pula perjalanan yang disuruh Islam untuk mencari Ilmu, memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.
3.       Ada pula perjalanan yang disuruh Islam untuk berperang di jalan Allah
4.       Ada pula perjalanan yang disuruh Islam untuk melaksanakan ibadah yang tinggi dan istimewa. Yaitu ibadah haji.[12]
Menurut jumhur ulama bahwa orang yang bermaksud mengadakan perjalanan tidak termasuk pada Ibnu sabil, dengan alasan :
1.           Ibnu sabil artinya orang yang berpisah dengan jalan yang ada padanya. Orang berada di negerinya tentu tidak berjalan.
2.           orang asing yang ada di negeri tersebut yang melakukan perjalanan, baginya mendapat bagian.
Ø  Pendapat Imam Syafi’i tentang Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang terputus bekalnya dan juga termasuk orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang tidak mempunyai bekal, keduanya diberi untuk memenuhi kebutuhan, karena orang yang bermaksud melakukan perjalanan bukan untuk bermaksiat.[13]
Ibnu sabil yang kehabisan biaya di negera lain, meskipun ia kaya di kampung halamannya. Mereka dapat menerima zakat sebesar biaya yang dapat mengantarkannya pulang ke negerinya, meliputi ongkos jalan dan perbekalan, dengan syarat:
a.   Ia membutuhkan di tempat ia kehabisan biaya.
b.   Perjalanannya bukan perjalanan maksiat, yaitu dalam perjalanan sunnah atau mubah.
c.   Sebagian madzhab Maliki mensyaratkan: tidak ada yang memberinya pinjaman dan ia mampu membayarnya.

Ø  Berapa besar bagian Ibnu sabil diberikan
Pertama, mereka berhak diberi biaya dan pakaian hingga mencukupi atau berhasil sampai tempat hartanya, apabila ia memilika harta ditengah perjalannya. Dan mencukupi sampai tujuan bagi yang tidak mempunyai harta sama ekali.
Kedua,persiapkan baginya kendaraan, apabila perjalanannya jauh.
Ketiga, diberi semua biaya perjalanan dan tidak boleh lebih dari itu, ini adalah pendappat yang Shahih.[14]
Penyaluran zakat kepada para mustahiq
1.   Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
2.   Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a.   Tidak diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
b.   Diperbolehkan memberikan zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk pembiayaan mujahid di medan perang.
c.   Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
d.   Selalu diperhatikan bahawa kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
e.   Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup kebutuhan.
f.    Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
           
            Mustahiq zakat, adalah golongan orang yang berhak menerima zakat. Mengenai mustahiq zakat ini telah di tetapkan ketentuannnya di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yaitu :
*$yJ¯RÎ)àM»s%y¢Á9$#Ïä!#ts)àÿù=Ï9ÈûüÅ3»|¡yJø9$#urtû,Î#ÏJ»yèø9$#ur$pköŽn=tæÏpxÿ©9xsßJø9$#uröNåkæ5qè=è%ÎûurÉ>$s%Ìh9$#tûüÏB̍»tóø9$#urÎûurÈ@Î6y«!$#Èûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#(ZpŸÒƒÌsùšÆÏiB«!$#3ª!$#uríOŠÎ=tæÒOÅ6ymÇÏÉÈ
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.



DAFTAR PUSTAKA

Masjfuk Zuhdi, Masailul fiqiyah, Jakarta, Cv Haji Masagung, 1994.
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern;Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 1, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum  Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra Kerjaya, Indonesia.
Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta
Diflaizar, Mustahik Zakat, (Online). Tersedia:http://diflaizar.blogspot.com/2009/09/mustahik-zakat.html. Akses: 12 Desember 2016.



[1].Inseklopedi Hukum Islam, jilid 6 cet ke-5, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 1996.
[2].Masjfuk Zuhdi, Masailul fiqiyah, Jakarta, Cv Haji Masagung, 1994. hlm. 262-263
[3].Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern;Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h.41
[4].Diflaizar, Mustahik Zakat, (Online). Tersedia:http://diflaizar.blogspot.com/2009/09/mustahik-zakat.html. Akses: 12 Desember 2016.
[5].Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 1, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 567
[6]Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat…, h. 41
[7] Qardhawi, Yusuf, Dr., Hukum  Zakat, 2006, Bogor, pt. Mitra Kerjaya, Indonesia, Hlm : 587-588.
[8][4]Ibid, Hlm : 594-598.
[9][5]Ibid, : Hlm : 610-611.
[10].Ibid : Hlm : 611-614.
[11][7]Ibid :  Hlm :
[12].Murad, Jawad, Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, PT. Lentera Basritama, cet ke 12, 2004, Jakarta Hlm : 571.
[13]. Qhardhawi, Op,Cit,  : Hlm : 654-655.
[14]. Qhardhawi,Op,Cit,  : Hlm : 659.

No comments:

Post a Comment