Wednesday, 20 June 2018

MAKALAH: Tata Cara Pembagian Zakat

BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu instrumennegara dan juga sebuah tawaran solusi untuk menbangkitkan bangsa dari keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang Islam,  namun diperuntukan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat merupakan bagian penting dalam kehidupan umat Islam.Bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq orang-orang yang enggan berzakat diperangi sampai mereka mau berzakat. Itu karena kewajiban berzakat sama dengan kewajiban mendirikan shalat.
Zakat merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga dengan adanya zakat(baik zakat fitrah maupun zakat maal) kita dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat.
            Dengan itu perlulah kita sebagai umat muslim untuk mengetahui bagaimana tata cara di dalam pembagian dan penyaluran zakat tersebut, terutama bagi amil yang bertugas sebagai penerima dan penyalur amanah para muzakki.

B.     RUMUSAN MALSALAH
1.      Apa saja tugas kewajiban amil ?
2.      Bagaimana pembagian harta zakat ?
3.      Bagaimana penyaluran zakat secara islam ?


                                                         BAB II                  
TATA CARA PENYALURAN ZAKAT
                                              MENURUT ISLAM                                

A. Tujuan dan Hikmah Zakat
خُذْمِنْأَمْوَٰلِهِمْصَدَقَةًتُطَهِّرُهُمْوَتُزَكِّيهِمبِهَاوَصَلِّعَلَيْهِمْۖإِنَّصَلَوٰتَكَسَكَنٌلَّهُمْۗوَٱللَّهُسَمِيعٌعَلِيمٌ
Artinya: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh maha mendengar lagi maha mengetahui". (Q.S At-Taubah ayat 103)
Segala sesuatu yang telah menjadi hukum-hukum Allah tentunya taklepas dari tujuan dan hikmah yang terkandung didalamnya, begitu juga denganzakat yang merupakan salah satu rukun Islam yang keempat tentunyamempunyai tujuan dan hikmah-hikmah yang mendalam bagi kehidupan manusia yang mendambakan kesejahteraan lahir batin.
Yang di maksud dengan tujuan zakat adalah sasaran praktisnya.Dalam hal ini, menurut Syaifuddin Zuhri, tujuan zakat adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.Adapun secara terperinci Daud Ali .
menjelaskannya sebagai berikut :
a. Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan hidup serta penderitaan;
b. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para
gharimin, ibnu sabil, dan mustahiq lainnya;
c. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat
Islam dan manusia pada umumnya;
d. Menghilangkan sifat kikir dan atau loba pemilik harta;
e. Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati
orang-orang miskin;
f. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang
miskin dalam suatu masyarakat;
g. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang,
terutama pada mereka yang mempunyai harta;
h. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan
menyerahkan hak orang lain yang ada padanya;
i. Sarana pemerataan pendapatan (rizki) untuk mencapai keadilan
sosial.[1]
Dari keterangan tersebut dipahami bahwa tujuan zakat dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu tujuan zakat yang dinisbatkan kepada si pemberi dan tujuan zakat yang dihubungkan dengan si penerima dan orang yang memanfaatkannya.
Zakat sebagai lembaga Islam juga mengandung hikmah (makna yang dalam atau manfaat) yang bersifat rohaniah dan filosofis.
Hikmah tersebut antara lain:[2]
1. Zakat sebagai manifestsi rasa syukur dan pernyataan rasa
terimakasih hamba kepada Allah yang telah menganugerahkan
rahmat dan nikmat-Nya yang berupa kekayaan.
2. Zakat mendidik manusia agar tidak bakhil, kikit, dan rakus,
sebaliknya dengan zakat mendidik manusia menjadi dermawan,
pemurah, melatih disiplin dalam menunaikan kewajiban dan
amanah kepada yang berhak dan yang berkepentingan.
3. Zakat menjadi alat untuk menghilangkan jurang pemisah antara
orang-orang kaya dan orang-orang miskin, antara si kuat dan si
lemah. .
4. Zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan
para pendosa dan pencuri.
B.Syarat-syarat Amil Zakat
Petugas zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut  :[3]
1. Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin mempunyai nilai ibadah disamping nilai sosial. Zakat merupakan salah satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga, dan zakat merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim kepada ajaran Islam, sehingga kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan kepada selain muslim yang notabene mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut para ulama boleh menjadikan non muslim sebagai petugas, tapi tidak secara langsung mengelola dana zakat, melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga atau sebagai sopir.
2.  Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa dan  sehat akal fikirannya.
3. Memahami hukum-hukum zakat. Para ulama mensyaratkan petugas zakat harus memahami hukum-hukum zakat, khususnya petugas yang secara langsung bergelut dengan zakat, karena mereka yang nantinya akan mengambil, mencatat dan menyalurkan kepada para mustahik, dan semua itu membutuhkan kepada pengetahuan tentang zakat supaya tidak salah dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran. Adapun petugas yang tidak secara langsung bergelut dengan zakat, maka tidak disyaratkan untuk mengetahui hukum-hukum zakat.
Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui hukum-hukum standar minimal zakat, karena bagaimanapun masyarakat tetap melihat petugas tersebut adalah petugas zakat. Pemahaman terhadap hukum-hukum zakat bagi seorang petugas zakat disebuah lembaga pengelola zakat akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Ketika kita sebagai petugas zakat tidak mengetahui suatu hukum zakat yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya, bagaimana para petugas zakat akan mengelola dana zakat, sedangkan mereka sendiri tidak tahu tentang zakat ?
4. Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah dua hal yang harus dimiliki oleh seorang petugas zakat. Karena mereka sehari-harinya akan berhubungan dengan dana zakat yang tidak sedikit. Kejujuran dan amanah juga akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika dihadapan masyarakat para petugas zakat memperlihatkan sifat jujur dan amanah, maka masyarakat akan memberikan
kepercayaannya kepada lembaga pengelola zakat dimana petugas zakat itu berada, yang dampaknya mereka akan semakin tenang untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga tersebut, Begitupun sebaliknya.
5. Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seorang petugas zakat juga harus mampu melaksanakan tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang diembannya baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan. Allah menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata kepada raja, “ Jadikanlah aku bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu) berarti kata kerja yang berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik.Sedangkan kata alim, berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.
Yang harus diperhatikan oleh lembaga pengelola zakat :

1.  Kelembagaan
-  Sistem
-  Visi isi
-  Aliansi Strategis
-  Susunan Organisasi
-   Program
-   Legalitas
-   Rencana Kerja
-   Evaluasi Kerja
-  Sosialisasi
-  Publikasi
2.  SDM
-  Jujur dan Amanah
-  Kompeten dan Kapabel
-  Kreatif dan Inovatif
-  Comunication skill
-  Manajerial Skill
-  Leadership Skill
-  Teamwork Building
-  Negotiation Skill
-  Making Decision
C.PEMBAGIAN ZAKAT SECARA MERATA DI ANTARA ASNAF YANG DELAPAN
فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ إِۖ نَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۗ عَلِيمٌ وَٱللَّهُ حَكِيمٌ


Artinya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Posted on 00.05 by Joko Prasojo
Sumber:
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau telah menyerahkan zakat harta kepada salah satu di antara asnaf  yang delapan, maka yang demikian itu sudah diperbolehkan (sah).”
Hajajj berkata, “Saya pernah bertanya kepada Atha’ mengenai hal demikan itu.Ia berkata, ‘Boleh-boleh saja.”
Dari Sa’id Jubair dan ‘Abdul Malik dari Atha’, kedua ulama tersebut berkata, “Apabila engkau menyerahkan harta kepada satu asnaf saja, maka yang demikian itu diperbolehkan dan sudah dianggap sah.”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Apabila engkau telah menyerahkan zakat harta kepada satu asnaf saja diantara asnaf yang delapan, maka yang demikian itu sudah cukup. Tujuan firman Allah,
اانمل الصدقت للفقراء والمسكين والعملينن عليها والمؤلفة قلوبهموفي الرقاب والغرمينوفي سبيل الله وابن السبيلصاى فريضة من الله  قلى والله عليم حكيم
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,” (at-Taubah: 60)
Dan seterusnya supaya tidak diberikan kepada selain golongan itu.”
Dari Hasan, ia berkata, “Zakat itu bagaikan tanda pengenal, dimana saja engaku menyerahkannya, maka itu sudah cukup bagimu.”
Ikramah berkata, “Berikanlah zakat harta itu secara merata di antara ‘ashnaf yang delapan.”
Dari Ibrahim, ia berkata, “Apabila zakat harta itu banyak, maka bagikanlah secara merata di antara ashnaf yang delapan.Apabila harta zakat itu sedikit, maka berikanlah kepada satu ashnaf saja.”
Serupa dengan hadits di atas.
Dari Ibrahim, ia berkata, “Tidaklah mereka itu meminta-minta melainkan mereka dalam keadaan miskin.”
Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Masyarakat yang paling sejahtera dan bahagia adalah paling banyak presentase orang kayanya. Masyrarakat yang paling melarat dan sengsara adalah yang paling banyak presentase orang miskinnya.”
Dari malik, ia berkata, “Permasalahan yang sama sekali tidak ada perbedaan pendapat di sisi kami adalah mengenai pembagian zakat yaitu pembagiannya adalah berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan penguasa. Oleh sebab itu, ashnaf yang terbanyak dan ashnaf yang paling membutuhkan, maka ia mesti didahulukan sesuai dengan kemashlahatan yang dilihatnya. Petugas zakat (amil) tidak mempunyai ketentuan yang pasti dan jelas.”
Abu Ubaid berkata, “Demikian juga pendapat Sufyan dan Ulama Irak bahwa apabila zakat itu telah diserahkan kepada satu asnaf daja diantara ashnaf yang delapan, maka yang demikian  itu telah mencukupi dan sudah boleh dikatakan sah.”
Sedangkan, ulama lainya berpendapat bahwa zakat itu mesti dibagi secara merata di antara ashnaf yang delapan.Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ikramah di dalam haditsnya telah kami sebutkan diatas.
Pembagian Harta Zakat pada Zaman Umar bin Abdul Aziz
Ibrahim dan Atha’ telah sependapat dengan ‘Ikramah, apabila zakat harta itu banyak. Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan Ibnu Syihab supaya menulis ketentuan pembagian zakat secara merata dan terpisah-pisah di antara para ashnaf yang delapan.
Dari ‘Uqail, ia berkata, “Ibnu Syihab telah menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kepadanya supaya menulis ketentuan pembagian zakat sesuai dengan peraturan sunnah. Isi surat itu adalah, ‘Ini adalah ketentuan pembagian zakat dan penyaluranya, Insya Allah. Ada delapan penyaluran, di mana mereka masing-masing mendapatkan bagian.Pertama, satu bagian untuk fakir.Kedua, satu bagian untuk miskin.Ketiga, satu bagian untuk petugas zakat (Amil).Keempat, satu bagian orang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf).Kelima, satu bagian untuk budak.Keenam, satu bagian untuk orang yang terhutang.Ketujuh, satu bagian untuk fisabilillah.Kedelapan, satu bagian untuk Ibnu Sabil.’[4]
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Bagian Fakir: setengahnya diberikan kepada mereka yang berperang di jalan Allah untuk perang pertama yang dijalaninya, yaitu ketika diberikan bantuan kepada mereka. Dan, ini merupakan pemberian pertama yang mesti diamil oleh mereka.Kemudian mereka mendapat ketentuan bagian zakat. Bagaikan terbesar mereka adalah terletak di dalam harta fai’. Setengahnya lagi diberikan kepada fakir yang tidak ikut serta dalam penyerangan.Yaitu, seperti orang yang menderita sakit lumpuh dan orang yang tidak bisa ikut perang berdasarkan kepada alasan syar’i, maka boleh menerima zakat. Insya Allah.[5]
Bagian miskin: setengahnya diberika kepada orang miskin yang menderita penyakit yang tidak bisa lagi berusaha dan bergerak dipermukaan bumi. Setengahnya lagi diberikan kepada orang miskin yang meminta-minta dan meminta makanan.Juga diserahkan kepada orang yang ditahan di dalam penjara yang tidak ada keluarga untuk membantunya. Insya Allah.
Bagian petugas zakat Amil: ini mesti dilihat kepada usahanya dan prstasinya dalam memungut zakat secara amanah dan iffah. Kemudian diberikan bagian zakat sesuai dengan tugas yang telah dijalankannya, dan sesuai dengan usahanya di dalam pengumpulan zakat.Lalu para anggotanya sama-sama memungut zakat, maka mereka juga diberi bagian zakat sesuai dengan usaha dan hasil pengumpulan zakat mereka.Barangkali yang demikian mesti mencapai jumlah standar, yaitu kurang lebih seperempat dari ketentuan bagian amil.Sisa dari bagian tersebut adalah tiga dari sepermpat, setelah para anggota amil mendapatkan bagianya.Kemudian sisanya diberika kepada psaukan cadangan dan pasukan pertama yang menyasikan perang. Insya Allah.
Bagian orang yang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf): ini diberika kepada pasukan cadangan fakir miskin, yang mensyaratkan pemberian bayaran dan orang yang berperang tanap mensyaratkan memberikan bagian gaji, walaupun sebenarnya mereka adalah orang fakir. Bagian ini juga diberikan kepada orang-orang miskin yang hadir di dalam masjid, sedangkan mereka tidak ada gaji apa pun, orang yang tidak mempunyai bagian di dalam baitulmaal, dan orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain. Insya Allah
Bagian Budak: ini terbagi kepada dua golongan. Setengah dibagika kepada mukatab yang mengaku masuk Islam.Mereka terbagi kepada beberapa tingkatan.Ahli fiqih Islam di antara mereka mendapat bagian yang lebih banyak.Sementara yang lainnya tetap mendapatkan bagian, tetapi kurang dari bagian ahli faqih diantara mereka.Dan, ini sesuai dengan peranan yang telah disumbangkan oleh masing-masing di antara mereka.Sedangkan, sisanya juga tetap diserahkan kepada mereka. Insya Allah. Setengahnya lagi adalah untuk biaya pembelian budak yang melaksanakan ibadah shalat, puasa, dan telah masuk agama Islam, baik lelaki maupun perempuan.Setelah itu, mereka mesti dimerdekakan. Insya Allah.
Bagian orang yang terhutang: ini terbagi kepada tiga golongan. Satu bagian di antara mereka diserahkan kepada orang yang tertimpa musibah di jalan Allah, sehingga hartanya, kekuatannya, dan budaknya habis.Sementara dia masih mempunyai utang yang belum bisa terbayar. Dan, dia tidak bisa memberikan nafkah kepada keluargannya melainkan dengan cara utang. Dua bagian diantara bagian orang uang terhutang diberikan kepada orang uang tertahan di dalam negeri dan ikut perang.  Sedangkan, ia adalah orang yang terutang dan dia telah tertimpa kefakiran. Dia juga telah mempunyai utang yang disebabkan oleh perbuatan masksiat di jalan Allah. Dia juga tidak tertuduh jahat didalam agamanya dan cara berutangnya. Insya Allah.
Bagian fisabilillah: seperempat dari bagian ini diberika kepada sebagian golongan ini. Seperempatnya lagi darinya diberikan kepada pasukan fakir cadangan yang mensyaratkan bagian zakat.Sebagiannya lagi diserahkan kepada penjaga perbatasan apabila mereka memerlukannya.Dan, dia pada saat itu adalah pejuang dijalan Allah. Insya Allah.
Bagian Ibnu Sabil: zakat ini dibagiankan pada setiap penghuni di pinggir jalan sesuai dengan kadar orang yang melintasinya dan oerng uang melewatinya. Ia juga diberikan kepada setiap seseorang yang sedang mengadakan perjalanan, yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga untuk dijadikan sebagai tempat perlindungannya. Lalu dia boleh memakan bagian zakat itu, sehingga ia menemukan rumah yang dituju atau sehngga ia menemukan keperluannya, ia mesti diletakkan di tempat-tempat keramaian dan diamanahkan kepada orang yang terpercaya, dimana apabila ada setiap Ibnu Sabil yang lewat, maka mereka memberika perlindungan kepadanya, memberikan hidangan makanan, dan mengembala tungangannya, sehingga habis bekal yang dimilikinya. Insya Allah.
Abu Ubaid berkata, “Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyebutka mengenai zakat biji-bijian, buah-buahan, unta, sapi, dan kambing dalam sebuah hadits yang sangat panjang.”
Abu Ubaid berkata, “Ini adalah keterangan mengenai penaluran zakat, apabila dibagikan secara merata dianatar seluruh ashnaf yang delapan. Ini adalah cara pembagian zakat bagi orang yang mampu melakukannya. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa cara pembagian zakat seperti ini tidaklah diwajibkan melainkan kepada pemimpin yang mana zakat kaum Muslimin telah melimpah ruah di sisinya. Pemimpin mesti membagikan zakat harta tersebut kepada seluruh ashnaf, sebab ini merupakan hak yang mesti diterima mereka. Adapun orang yang tidak memilik banyak zakat harta selain dari kewajiaban zakat hartanya sendiri saja, apabila ia memberika zakatnya kepada sebagian ashnaf saja, maka yang demikian itu sudah dibolehkan dan sudah dianggap sah. Ini berdasarkan kepada pendapat ulama yang telah kami sebutkan di atas.”
Landasan hukum bahwa membagikan zakat hanya kepada sebagian ashnaf saja sudah dibolehkan adalah berdasarkan kepada hadits yang telah diriwayatkan dari Rasulullah, ketika beliau menerangkan mengenai zakat. Beliau bersabda, ”Zakat mesti diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian deiserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka.” Disini Rasulullah tidak menyebutkan banyak ashnaf, tetapi beliau hanya menyebutkan satu golongan saja, yaitu golongan fakir. Setelah itu, beliau memberikan zakat zakat kepada ashnaf kedua selain fakir, yaitu orang-orang yang dijinakkan hatinya saja (Mu’allaf)  yaitu al-Aqra’ bin Habis, ‘Unaiyah bin Hishn, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah, dan Zaid bin al-Khaili. Rasulullah telah membagikan dianatara mereka emas yang telah dikirimkan Ali dari hasil pungutan zakat harta penduduk Yaman.Kemudian setelah Rasulullah menerima harta yang lainnya, maka beliau menyerahkan kepada ashnaf yang ketiga, yaitu orang-orang yang terutang.
Diantara hal demikian adalah sabda Rasulullah kepada Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang tanggung jawab pembayaran diyat  yang telah menjadi beban kepadanya, “Bertempat tinggalah engaku disisni, sehingga datang kepada kami zakat harta. Setelah harta zakat itu datang, adakalanya kami hanya memberikan bantuan kepadamu utnuk meringankan beban utang tersebut, dan adakalanya juga kami akan memberikannya bayaran secara penuh terhadap utang yang sedang engkau sandang itu.”Seluruh hadits ini telah kami terangkan pada pembahasan bab-bab yang sebelumnya.
Oleh sebab itu, saya lihat bahwa Rasulullah telah membeikan zakat harta kepada sebagian ashnaf saja, tanpa harus memberikannya kepada seluruh ashnaf secara merata.
Dengan demikian, seorang pemimpin diberikan kebebasan memilih antara membagikan zakat harta secara merata kepada seluruh ashnaf  yang delapan atau hanya memberikannya kepada sebagian ashnaf saja, apabila yang demikian itu berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan, tidak ada unsur nepotisme dan jauh dari penyelewengan kebenaran. Demikan juga selain pemimpin., bahkan ia memiliki kebebasan memilih yang lebih luas. Insya Allah.




BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Jadi didalam menyalurkan zakat alangkah lebih baiknya kita memperhatikan tata cara dalam pengeluaran zakat, penerimaan zakat, penyaluran zakat. Terutama ilmu ini harus benar-benar dikuasai oleh amil zakat yang di beri kepercayaan untuk hal ini.


















DAFTAR BACAAN
1.     1 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat,Semarang: Pustaka Rizki, Putra, Cet.III,
2.     Wahbah al Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung : Remaja Rosda,Karya, 1995.
3.     Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. IV,1996,
4.     30 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, terj. SaidAgil Husin Al Munawar, Semarang : Dina Utama.



[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat,Semarang: Pustaka Rizki
Putra, Cet.III, 1999, hlm. 3
[2] Wahbah al Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung : Remaja Rosda
Karya, 1995, hlm. 82
[3] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. IV,1996,
hlm. 61
[4] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zk, terj. Said
Agil Husin Al Munawar, Semarang : Dina Utama, t.t., hlm. 1
[5]Wahbah Al- Zuhayly, Op.cit, hlm.86

No comments:

Post a Comment