BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Zakat merupakan suatu kewajiban bagi
umat Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi
masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya
zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan
jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu
instrumennegara dan juga sebuah tawaran solusi untuk menbangkitkan bangsa dari
keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang
Islam, namun diperuntukan bagi
kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat
merupakan bagian penting dalam kehidupan umat Islam.Bahkan pada masa Khalifah
Abu Bakar As-Siddiq orang-orang yang enggan berzakat diperangi sampai mereka
mau berzakat. Itu karena kewajiban berzakat sama dengan kewajiban mendirikan
shalat.
Zakat
merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga
dengan adanya zakat(baik zakat fitrah maupun zakat maal) kita dapat mempererat
tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat.
Dengan itu perlulah kita sebagai
umat muslim untuk mengetahui bagaimana tata cara di dalam pembagian dan
penyaluran zakat tersebut, terutama bagi amil yang bertugas sebagai penerima
dan penyalur amanah para muzakki.
B. RUMUSAN
MALSALAH
1. Apa
saja tugas kewajiban amil ?
2. Bagaimana
pembagian harta zakat ?
3. Bagaimana
penyaluran zakat secara islam ?
BAB
II
TATA
CARA PENYALURAN ZAKAT
MENURUT
ISLAM
A. Tujuan dan Hikmah Zakat
خُذْمِنْأَمْوَٰلِهِمْصَدَقَةًتُطَهِّرُهُمْوَتُزَكِّيهِمبِهَاوَصَلِّعَلَيْهِمْۖإِنَّصَلَوٰتَكَسَكَنٌلَّهُمْۗوَٱللَّهُسَمِيعٌعَلِيمٌ
Artinya: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh
maha mendengar lagi maha mengetahui". (Q.S At-Taubah ayat 103)
Segala sesuatu yang telah menjadi hukum-hukum Allah
tentunya taklepas dari tujuan dan hikmah yang terkandung didalamnya, begitu
juga denganzakat yang merupakan salah satu rukun Islam yang keempat
tentunyamempunyai tujuan dan hikmah-hikmah yang mendalam bagi kehidupan manusia
yang mendambakan kesejahteraan lahir batin.
Yang di maksud dengan tujuan zakat adalah sasaran
praktisnya.Dalam hal ini, menurut Syaifuddin Zuhri, tujuan zakat adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat.Adapun secara terperinci Daud Ali .
menjelaskannya
sebagai berikut :
a.
Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan
hidup serta penderitaan;
b.
Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para
gharimin,
ibnu sabil, dan mustahiq lainnya;
c.
Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat
Islam
dan manusia pada umumnya;
d.
Menghilangkan sifat kikir dan atau loba pemilik harta;
e.
Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati
orang-orang
miskin;
f.
Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang
miskin
dalam suatu masyarakat;
g.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang,
terutama
pada mereka yang mempunyai harta;
h.
Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan
menyerahkan
hak orang lain yang ada padanya;
i.
Sarana pemerataan pendapatan (rizki) untuk mencapai keadilan
sosial.[1]
Dari keterangan tersebut dipahami bahwa tujuan zakat
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu tujuan zakat yang dinisbatkan kepada
si pemberi dan tujuan zakat yang dihubungkan dengan si penerima dan orang yang memanfaatkannya.
Zakat sebagai lembaga Islam juga mengandung hikmah
(makna yang dalam atau manfaat) yang bersifat rohaniah dan filosofis.
Hikmah
tersebut antara lain:[2]
1.
Zakat sebagai manifestsi rasa syukur dan pernyataan rasa
terimakasih
hamba kepada Allah yang telah menganugerahkan
rahmat
dan nikmat-Nya yang berupa kekayaan.
2.
Zakat mendidik manusia agar tidak bakhil, kikit, dan rakus,
sebaliknya
dengan zakat mendidik manusia menjadi dermawan,
pemurah,
melatih disiplin dalam menunaikan kewajiban dan
amanah
kepada yang berhak dan yang berkepentingan.
3.
Zakat menjadi alat untuk menghilangkan jurang pemisah antara
orang-orang
kaya dan orang-orang miskin, antara si kuat dan si
lemah.
.
4.
Zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan
para
pendosa dan pencuri.
B.Syarat-syarat
Amil Zakat
Petugas
zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[3]
1.
Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin mempunyai nilai ibadah disamping nilai
sosial. Zakat merupakan salah satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga,
dan zakat merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim
kepada ajaran Islam, sehingga kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan
kepada selain muslim yang notabene mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut
para ulama boleh menjadikan non muslim sebagai petugas, tapi tidak secara
langsung mengelola dana zakat, melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga
atau sebagai sopir.
2. Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa dan sehat akal fikirannya.
3.
Memahami hukum-hukum zakat. Para ulama mensyaratkan petugas zakat harus
memahami hukum-hukum zakat, khususnya petugas yang secara langsung bergelut
dengan zakat, karena mereka yang nantinya akan mengambil, mencatat dan
menyalurkan kepada para mustahik, dan semua itu membutuhkan kepada pengetahuan
tentang zakat supaya tidak salah dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran.
Adapun petugas yang tidak secara langsung bergelut dengan zakat, maka tidak
disyaratkan untuk mengetahui hukum-hukum zakat.
Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui
hukum-hukum standar minimal zakat, karena bagaimanapun masyarakat tetap melihat
petugas tersebut adalah petugas zakat. Pemahaman terhadap hukum-hukum zakat
bagi seorang petugas zakat disebuah lembaga pengelola zakat akan sangat
mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Ketika kita
sebagai petugas zakat tidak mengetahui suatu hukum zakat
yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya,
bagaimana para petugas zakat akan mengelola dana zakat, sedangkan mereka
sendiri tidak tahu tentang zakat ?
4.
Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah dua hal yang harus dimiliki oleh
seorang petugas zakat. Karena mereka sehari-harinya akan berhubungan dengan
dana zakat yang tidak sedikit. Kejujuran dan amanah juga akan sangat
mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika dihadapan masyarakat para petugas
zakat memperlihatkan sifat jujur dan amanah, maka masyarakat akan memberikan
kepercayaannya
kepada lembaga pengelola zakat dimana petugas zakat itu berada, yang dampaknya
mereka akan semakin tenang untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga tersebut,
Begitupun sebaliknya.
5.
Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping syarat-syarat yang telah
disebutkan diatas, seorang petugas zakat juga harus mampu melaksanakan tugas,
dalam artian kompeten dengan tugas yang diembannya baik dari segi fisik maupun
keilmuan dan pengetahuan. Allah menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata
kepada raja, “ Jadikanlah aku bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu)
berarti kata kerja yang berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik.Sedangkan
kata alim, berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.
Yang
harus diperhatikan oleh lembaga pengelola zakat :
1. Kelembagaan
- Sistem
- Visi isi
- Aliansi Strategis
- Susunan Organisasi
- Program
- Legalitas
- Rencana Kerja
- Evaluasi Kerja
- Sosialisasi
- Publikasi
2. SDM
- Jujur dan Amanah
- Kompeten dan Kapabel
- Kreatif dan Inovatif
- Comunication skill
- Manajerial Skill
- Leadership Skill
- Teamwork Building
- Negotiation Skill
- Making Decision
C.PEMBAGIAN
ZAKAT SECARA MERATA DI ANTARA ASNAF YANG DELAPAN
فَرِيضَةً
مِّنَ ٱللَّهِ إِۖ نَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ
وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ
وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۗ عَلِيمٌ وَٱللَّهُ
حَكِيمٌ
Artinya:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Posted
on 00.05 by Joko Prasojo
Sumber:
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau telah
menyerahkan zakat harta kepada salah satu di antara asnaf yang delapan, maka yang demikian itu sudah
diperbolehkan (sah).”
Hajajj
berkata, “Saya pernah bertanya kepada Atha’ mengenai hal demikan itu.Ia
berkata, ‘Boleh-boleh saja.”
Dari Sa’id Jubair dan ‘Abdul Malik dari Atha’, kedua
ulama tersebut berkata, “Apabila engkau menyerahkan harta kepada satu asnaf
saja, maka yang demikian itu diperbolehkan dan sudah dianggap sah.”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Apabila engkau telah
menyerahkan zakat harta kepada satu asnaf saja diantara asnaf yang delapan,
maka yang demikian itu sudah cukup. Tujuan firman Allah,
اانمل
الصدقت للفقراء والمسكين والعملينن عليها والمؤلفة قلوبهموفي الرقاب والغرمينوفي
سبيل الله وابن السبيلصاى فريضة من الله قلى والله عليم حكيم
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,”
(at-Taubah: 60)
Dan
seterusnya supaya tidak diberikan kepada selain golongan itu.”
Dari Hasan, ia berkata, “Zakat itu bagaikan tanda
pengenal, dimana saja engaku menyerahkannya, maka itu sudah cukup bagimu.”
Ikramah berkata, “Berikanlah zakat harta itu secara
merata di antara ‘ashnaf yang delapan.”
Dari Ibrahim, ia berkata, “Apabila zakat harta itu
banyak, maka bagikanlah secara merata di antara ashnaf yang delapan.Apabila
harta zakat itu sedikit, maka berikanlah kepada satu ashnaf saja.”
Serupa
dengan hadits di atas.
Dari Ibrahim, ia berkata, “Tidaklah mereka itu
meminta-minta melainkan mereka dalam keadaan miskin.”
Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Masyarakat yang
paling sejahtera dan bahagia adalah paling banyak presentase orang kayanya.
Masyrarakat yang paling melarat dan sengsara adalah yang paling banyak
presentase orang miskinnya.”
Dari malik, ia berkata, “Permasalahan yang sama
sekali tidak ada perbedaan pendapat di sisi kami adalah mengenai pembagian
zakat yaitu pembagiannya adalah berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan
penguasa. Oleh sebab itu, ashnaf yang terbanyak dan ashnaf yang paling
membutuhkan, maka ia mesti didahulukan sesuai dengan kemashlahatan yang
dilihatnya. Petugas zakat (amil) tidak mempunyai ketentuan yang pasti dan
jelas.”
Abu Ubaid berkata, “Demikian juga pendapat Sufyan
dan Ulama Irak bahwa apabila zakat itu telah diserahkan kepada satu asnaf daja
diantara ashnaf yang delapan, maka yang demikian itu telah mencukupi dan sudah boleh dikatakan
sah.”
Sedangkan, ulama lainya berpendapat bahwa zakat itu
mesti dibagi secara merata di antara ashnaf yang delapan.Di antara ulama yang
berpendapat seperti ini adalah ‘Ikramah di dalam haditsnya telah kami sebutkan
diatas.
Pembagian
Harta Zakat pada Zaman Umar bin Abdul Aziz
Ibrahim dan Atha’ telah sependapat dengan ‘Ikramah,
apabila zakat harta itu banyak. Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan Ibnu
Syihab supaya menulis ketentuan pembagian zakat secara merata dan
terpisah-pisah di antara para ashnaf yang delapan.
Dari ‘Uqail, ia berkata, “Ibnu Syihab telah
menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kepadanya
supaya menulis ketentuan pembagian zakat sesuai dengan peraturan sunnah. Isi
surat itu adalah, ‘Ini adalah ketentuan pembagian zakat dan penyaluranya, Insya
Allah. Ada delapan penyaluran, di mana mereka masing-masing mendapatkan
bagian.Pertama, satu bagian untuk fakir.Kedua, satu bagian untuk miskin.Ketiga,
satu bagian untuk petugas zakat (Amil).Keempat, satu bagian orang ingin
dijinakkan hatinya (Mu’allaf).Kelima, satu bagian untuk budak.Keenam, satu
bagian untuk orang yang terhutang.Ketujuh, satu bagian untuk fisabilillah.Kedelapan,
satu bagian untuk Ibnu Sabil.’[4]
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Bagian Fakir:
setengahnya diberikan kepada mereka yang berperang di jalan Allah untuk perang
pertama yang dijalaninya, yaitu ketika diberikan bantuan kepada mereka. Dan,
ini merupakan pemberian pertama yang mesti diamil oleh mereka.Kemudian mereka
mendapat ketentuan bagian zakat. Bagaikan terbesar mereka adalah terletak di
dalam harta fai’. Setengahnya lagi diberikan kepada fakir yang tidak ikut serta
dalam penyerangan.Yaitu, seperti orang yang menderita sakit lumpuh dan orang
yang tidak bisa ikut perang berdasarkan kepada alasan syar’i, maka boleh
menerima zakat. Insya Allah.[5]
Bagian miskin: setengahnya diberika kepada orang
miskin yang menderita penyakit yang tidak bisa lagi berusaha dan bergerak
dipermukaan bumi. Setengahnya lagi diberikan kepada orang miskin yang
meminta-minta dan meminta makanan.Juga diserahkan kepada orang yang ditahan di
dalam penjara yang tidak ada keluarga untuk membantunya. Insya Allah.
Bagian petugas zakat Amil: ini mesti dilihat kepada
usahanya dan prstasinya dalam memungut zakat secara amanah dan iffah. Kemudian
diberikan bagian zakat sesuai dengan tugas yang telah dijalankannya, dan sesuai
dengan usahanya di dalam pengumpulan zakat.Lalu para anggotanya sama-sama memungut
zakat, maka mereka juga diberi bagian zakat sesuai dengan usaha dan hasil
pengumpulan zakat mereka.Barangkali yang demikian mesti mencapai jumlah
standar, yaitu kurang lebih seperempat dari ketentuan bagian amil.Sisa dari
bagian tersebut adalah tiga dari sepermpat, setelah para anggota amil
mendapatkan bagianya.Kemudian sisanya diberika kepada psaukan cadangan dan
pasukan pertama yang menyasikan perang. Insya Allah.
Bagian orang yang ingin dijinakkan hatinya
(Mu’allaf): ini diberika kepada pasukan cadangan fakir miskin, yang
mensyaratkan pemberian bayaran dan orang yang berperang tanap mensyaratkan
memberikan bagian gaji, walaupun sebenarnya mereka adalah orang fakir. Bagian
ini juga diberikan kepada orang-orang miskin yang hadir di dalam masjid, sedangkan
mereka tidak ada gaji apa pun, orang yang tidak mempunyai bagian di dalam
baitulmaal, dan orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain. Insya Allah
Bagian Budak: ini terbagi kepada dua golongan.
Setengah dibagika kepada mukatab yang mengaku masuk Islam.Mereka terbagi kepada
beberapa tingkatan.Ahli fiqih Islam di antara mereka mendapat bagian yang lebih
banyak.Sementara yang lainnya tetap mendapatkan bagian, tetapi kurang dari
bagian ahli faqih diantara mereka.Dan, ini sesuai dengan peranan yang telah
disumbangkan oleh masing-masing di antara mereka.Sedangkan, sisanya juga tetap
diserahkan kepada mereka. Insya Allah. Setengahnya lagi adalah untuk biaya
pembelian budak yang melaksanakan ibadah shalat, puasa, dan telah masuk agama
Islam, baik lelaki maupun perempuan.Setelah itu, mereka mesti dimerdekakan.
Insya Allah.
Bagian orang yang terhutang: ini terbagi kepada tiga
golongan. Satu bagian di antara mereka diserahkan kepada orang yang tertimpa
musibah di jalan Allah, sehingga hartanya, kekuatannya, dan budaknya
habis.Sementara dia masih mempunyai utang yang belum bisa terbayar. Dan, dia
tidak bisa memberikan nafkah kepada keluargannya melainkan dengan cara utang.
Dua bagian diantara bagian orang uang terhutang diberikan kepada orang uang
tertahan di dalam negeri dan ikut perang.
Sedangkan, ia adalah orang yang terutang dan dia telah tertimpa
kefakiran. Dia juga telah mempunyai utang yang disebabkan oleh perbuatan
masksiat di jalan Allah. Dia juga tidak tertuduh jahat didalam agamanya dan
cara berutangnya. Insya Allah.
Bagian fisabilillah: seperempat dari bagian ini
diberika kepada sebagian golongan ini. Seperempatnya lagi darinya diberikan
kepada pasukan fakir cadangan yang mensyaratkan bagian zakat.Sebagiannya lagi
diserahkan kepada penjaga perbatasan apabila mereka memerlukannya.Dan, dia pada
saat itu adalah pejuang dijalan Allah. Insya Allah.
Bagian Ibnu Sabil: zakat ini dibagiankan pada setiap
penghuni di pinggir jalan sesuai dengan kadar orang yang melintasinya dan oerng
uang melewatinya. Ia juga diberikan kepada setiap seseorang yang sedang
mengadakan perjalanan, yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga untuk
dijadikan sebagai tempat perlindungannya. Lalu dia boleh memakan bagian zakat
itu, sehingga ia menemukan rumah yang dituju atau sehngga ia menemukan
keperluannya, ia mesti diletakkan di tempat-tempat keramaian dan diamanahkan
kepada orang yang terpercaya, dimana apabila ada setiap Ibnu Sabil yang lewat,
maka mereka memberika perlindungan kepadanya, memberikan hidangan makanan, dan
mengembala tungangannya, sehingga habis bekal yang dimilikinya. Insya Allah.
Abu
Ubaid berkata, “Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyebutka mengenai zakat
biji-bijian, buah-buahan, unta, sapi, dan kambing dalam sebuah hadits yang
sangat panjang.”
Abu Ubaid berkata, “Ini adalah keterangan mengenai
penaluran zakat, apabila dibagikan secara merata dianatar seluruh ashnaf yang
delapan. Ini adalah cara pembagian zakat bagi orang yang mampu melakukannya.
Akan tetapi, saya berpendapat bahwa cara pembagian zakat seperti ini tidaklah
diwajibkan melainkan kepada pemimpin yang mana zakat kaum Muslimin telah
melimpah ruah di sisinya. Pemimpin mesti membagikan zakat harta tersebut kepada
seluruh ashnaf, sebab ini merupakan hak yang mesti diterima mereka. Adapun
orang yang tidak memilik banyak zakat harta selain dari kewajiaban zakat
hartanya sendiri saja, apabila ia memberika zakatnya kepada sebagian ashnaf
saja, maka yang demikian itu sudah dibolehkan dan sudah dianggap sah. Ini
berdasarkan kepada pendapat ulama yang telah kami sebutkan di atas.”
Landasan hukum bahwa membagikan zakat hanya kepada
sebagian ashnaf saja sudah dibolehkan adalah berdasarkan kepada hadits yang
telah diriwayatkan dari Rasulullah, ketika beliau menerangkan mengenai zakat.
Beliau bersabda, ”Zakat mesti diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
dan kemudian deiserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka.” Disini
Rasulullah tidak menyebutkan banyak ashnaf, tetapi beliau hanya menyebutkan
satu golongan saja, yaitu golongan fakir. Setelah itu, beliau memberikan zakat
zakat kepada ashnaf kedua selain fakir, yaitu orang-orang yang dijinakkan
hatinya saja (Mu’allaf) yaitu al-Aqra’
bin Habis, ‘Unaiyah bin Hishn, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah, dan Zaid bin al-Khaili.
Rasulullah telah membagikan dianatara mereka emas yang telah dikirimkan Ali
dari hasil pungutan zakat harta penduduk Yaman.Kemudian setelah Rasulullah
menerima harta yang lainnya, maka beliau menyerahkan kepada ashnaf yang ketiga,
yaitu orang-orang yang terutang.
Diantara hal demikian adalah sabda Rasulullah kepada
Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang tanggung jawab pembayaran diyat yang telah menjadi beban kepadanya,
“Bertempat tinggalah engaku disisni, sehingga datang kepada kami zakat harta.
Setelah harta zakat itu datang, adakalanya kami hanya memberikan bantuan
kepadamu utnuk meringankan beban utang tersebut, dan adakalanya juga kami akan
memberikannya bayaran secara penuh terhadap utang yang sedang engkau sandang
itu.”Seluruh hadits ini telah kami terangkan pada pembahasan bab-bab yang sebelumnya.
Oleh sebab itu, saya lihat bahwa Rasulullah telah
membeikan zakat harta kepada sebagian ashnaf saja, tanpa harus memberikannya
kepada seluruh ashnaf secara merata.
Dengan demikian, seorang pemimpin diberikan
kebebasan memilih antara membagikan zakat harta secara merata kepada seluruh
ashnaf yang delapan atau hanya
memberikannya kepada sebagian ashnaf saja, apabila yang demikian itu
berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan, tidak ada unsur nepotisme dan jauh dari
penyelewengan kebenaran. Demikan juga selain pemimpin., bahkan ia memiliki
kebebasan memilih yang lebih luas. Insya Allah.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi didalam menyalurkan zakat alangkah
lebih baiknya kita memperhatikan tata cara dalam pengeluaran zakat, penerimaan
zakat, penyaluran zakat. Terutama ilmu ini harus benar-benar dikuasai oleh amil
zakat yang di beri kepercayaan untuk hal ini.
DAFTAR
BACAAN
1. 1
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman
Zakat,Semarang: Pustaka Rizki, Putra, Cet.III,
2. Wahbah
al Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab,
Bandung : Remaja Rosda,Karya, 1995.
3. Yusuf
Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta :
Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. IV,1996,
4. 30
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Kajian
Kritis Pendayagunaan Zakat, terj. SaidAgil Husin Al Munawar, Semarang : Dina
Utama.
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat,Semarang:
Pustaka Rizki
Putra, Cet.III, 1999, hlm. 3
[2] Wahbah al Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung : Remaja
Rosda
Karya, 1995, hlm. 82
[3] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa,
Cet. IV,1996,
hlm. 61
[4] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Kajian Kritis Pendayagunaan Zk,
terj. Said
Agil Husin Al Munawar, Semarang :
Dina Utama, t.t., hlm. 1
[5]Wahbah Al- Zuhayly,
Op.cit, hlm.86
No comments:
Post a Comment